Pendahuluan
Pendidikan telah lama menjadi salah satu pilar penting dalam misi Gereja. Di Flores, misi itu terwujud lewat pembentukan Yayasan Persekolahan yang diprakarsai oleh Mgr. A. Thjissen, SVD dengan nama Vedapura yang berarti benteng ilmu. Dalam perkembangannya, Vedapura dimekarkan menjadi 5 yayasan. Salah satunya yakni SANPUKAT yang secara otonom berdiri sejak tahun 1970. Hal ini menandakan kepedulian para misionaris untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai wadah strategis untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat Flores.
Namun, berbeda dengan yayasan pendidikan lain yang sering kali didirikan dengan dukungan finansial besar, SANPUKAT justru sebaliknya. SANPUKAT tidak dibangun di atas modal finansial yang besar, tetapi atas warisan misi dan tradisi pendidikan Katolik. Warisan misi ini serentak memberika tanggung jawab yang besar bagi SANPUKAT untuk memastikan keberlanjutan pendidikan tersebut di tengah keterbatasan sumber daya.
SANPUKAT menjalankan beberapa fungsi utama yang sangat penting antara lain: pertama, memberikan Legitimasi Hukum. SANPUKAT memastikan bahwa sekolah-sekolah yang dikelolanya memiliki dasar legal yang kuat, sehingga dapat diakui oleh negara dan beroperasi secara formal. Kedua, memelihara misi Gereja lewat pendidikan. Kedua fungsi tersebut menunjukkan bahwa SANPUKAT tidak hanya berperan untuk memastikan keberlanjutan sekolah-sekolah, tetapi juga menjadi pilar penting dalam mempertahankan warisan pendidikan yang telah dirintis oleh para misionaris.
Kritik Ideologi SANPUKAT Sudah Buat Apa?
Meskipun memiliki peran yang signifikan, SANPUKAT menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, baik dari segi finansial maupun ideologi. Hal itu membuat SANPUKAT kerap kali dipandang sebelah mata atau masyarakat biasa mengungkapkannya lewat diksi: “SANPUKAT sudah buat apa?”. Alasannya antara lain karena SANPUKAT tidak mampu memberikan dukungan finansial kepada sekolah-sekolah yang dikelolanya. Anggapan ini disebabkan oleh persepsi masyarakat yang terjebak dalam apa yang Karl Marx sebut sebagai fetisisme material. Dalam fetisisme material, nilai dari sesuatu dianggap signifikan jika dapat diukur atau divisualisasikan melalui hasil material. (Zizek, 2008). Salah satunya seperti dukungan finansial dan dukungan infrastruktur kepada sekolah-sekolah. Akibatnya bahwa peran SANPUKAT dalam memberikan legalitas kepada sekolah-sekolah dan melanjutkan misi Gereja dalam bidang pendidikan dianggap sekunder bahkan termarginalkan dalam ruang publik.
Marginalisasi peran SANPUKAT mencerminkan kontradiksi dalam ideologi masyarakat yang menghargai pendidikan tetapi meremehkan elemen-elemen non-material yang menopang keberlanjutan pendidikan seperti: legalitas yang memungkinkan operasional sekolah, dukungan administratif, dan misi Gereja untuk pendidikan. Masyarakat mungkin menghargai pendidikan secara universal, tetapi mereka secara bersamaan membatasi penghargaan pada kapital atau kontribusi ekonomi. Pandangan ini serupa dengan ilusi sosialisme utopis yang dikritik Karl Marx, di mana universalitas diasumsikan dapat dicapai tanpa kontradiksi internal. (Zizek, 2008). Dalam konteks pendidikan, keberhasilan sekolah-sekolah di bawah naungan SANPUKAT diandaikan dapat tercapai tanpa legalitas dan dukungan administratif dari yayasan.
Tidak heran bahwa diskurus tentang peran SANPUKAT kadang kalanya berakhir dengan ketegangan sosial antara ekspektasi masyarakat dan kondisi real SANPUKAT. Dalam model sinisme ideologis, masyarakat barangkali menyadari bahwa tuntutan akan kontribusi ekonomi tersebut mungkin tidak sepenuhnya relevan dengan sejarah SANPUKAT sebagai yayasan yang mewarisi sekolah-sekolah dengan sumber daya yang terbatas. SANPUKAT tidak dirancang untuk bersaing dengan institusi profit-oriented, tetapi hadir untuk memelihara warisan pendidikan Katolik yang telah dibangun oleh misionaris bersama dengan masyarakat zaman dulu di Keuskupan Maumere. Meski demikian, masyarakat dewasa ini tetap diwarnai dengan ekspektasi akan kontribusi ekonomi dari SANPUKAT. Masyarakat tahu bahwa logika pasar yang diterapkan pada SANPUKAT tidak sepenuhnya adil dan relevan dengan kondisi real SANPUKAT, tetapi tetap memilih untuk melanggengkan standar tersebut.
Di sinilah SANPUKAT dihadapkan dengan sublimitas. Sublimitas merupakan titik kehancuran dari keindahan. Dalam logika Hegel yang dijelaskan oleh Zizek, sublimitas kerap dihubungkan dengan keindahan. Baginya, keindahan merupakan simbol keharmonisan serta keselarasan ide dan materialitas. Sebaliknya, Sublimitas berhubungan dengan ketidakmungkinan, ketidakberaturan, dan kondisi yang mengusik rasa aman.(Zizek, 2008). Itulah yang kini dihadapi SANPUKAT di mana keindahan yang terlihat lewat upaya SANPUKAT untuk memelihara misi pendidikan Katolik lewat sekolah-sekolah di bawah naungannya tersublimasi atau terguncang kenyamanannya oleh ketakberdayaan finansial, kurangnya dukungan dari luar, kebijakan yang kurang berpihak, dan ideologi yang membatasi penghargaan pada kapital atau kontribusi ekonomi dari SANPUKAT.
Akan tetapi, sublimitas tidak dapat dipandang sebagai akhir dari ketegangan sosial sebab di balik sublimitas terdapat ruang bagi pembentukan dan pengembangan yang lebih mendalam. Hegel melihat sublimitas sebagai sebuah momen dalam dialektika menuju sintesis yang lebih tinggi. Di sini, sublimitas adalah peralihan dari “negasi eksternal” (pengakuan keterbatasan) menuju transformasi yang lebih dalam. (Zizek, 2008) Karena itu, ketidaknyamanan (sublimitas) yang dialami SANPUKAT dapat dimediasi untuk menciptakan ruang bagi transformasi yang lebih lanjut. Mediasi ini mungkin dalam bentuk pembaruan ideologis, pembaharuan manajemen, dan perubahan dalam cara pandang terhadap peran SANPUKAT.
SANPUKAT dan masyarakat sendiri dapat menerapkan antusiasme dari pada fanatisme dalam menyikapi ketegangan sosial. Memang Ada dua potensi sikap yang dapat diambil SANPUKAT dan masyarakat berhadapan dengan tantangan sosial yakni fanatisme atau antusiasme. Fanatisme berarti SANPUKAT dan masyarakat mengatasi semua tantangan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, atau SANPUKAT dan masyarakat bisa memilih antusiasme, di mana SANPUKAT dan masyarakat mengakui ketidakmampuan mereka untuk memenuhi semua harapan namun tetap berusaha memperbaiki dan menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Dalam hal ini, antusiasme merujuk pada pandangan Zizek mengenai semangat untuk terus berjuang kendati menyadari bahwa kondisi eksternal tidak memungkinkan untuk mewujudkan harapan secara langsung. (Zizek, 2008).

Ekonomi Solidaritas SANPUKAT
Antusiasme SANPUKAT dalam menghadapi tantangan ideologi dan tantangan finansial mesti memperhatikan dimensi moral sehingga kebutuhan manusia dan komunitas tetap menjadi prioritas utama. Pendekatan ini selaras dengan ajaran Gereja yang menekankan bahwa setiap keputusan ekonomi harus memiliki konsekuensi moral yang mendukung martabat manusia.(Caritas in Veritate, 2014). Dalam hal ini, upaya untuk mengatasi tantangan ekonomi tidak hanya terletak pada peningkatan sumber daya finansial semata, tetapi juga pada penerapan prinsip fraternitas dan solidaritas
Dengan prinsip fraternitas, SANPUKAT dapat menjalin kemitraan dengan pihak-pihak yang memiliki misi serupa, seperti lembaga misi internasional, pemerintah, organisasi non-profit, keuskupan dan umat untuk menciptakan jaringan dukungan yang berkelanjutan. Kolaborasi ini dapat menjadi upaya untuk memperkuat solidaritas dalam mendukung peran SANPUKAT bagi sekolah-sekolah dibawah naungannya. Solidaritas, dalam kerangka ini, bukan hanya tanggung jawab negara, melainkan tanggung jawab kolektif semua pihak yang peduli pada keadilan sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan Paus Benediktus XVI yang menyatakan bahwa “Solidaritas adalah pertama-tama dan terutama rasa tanggung jawab setiap orang terhadap semua orang, dan karena itu tidak dapat hanya didelegasikan pada negara”.(Caritas In Veritate, 2014). Karena itu, dengan memperkuat solidaritas, SANPUKAT tidak hanya memenuhi tanggung jawab administratifnya, tetapi juga menjadi saksi nyata dari nilai-nilai Injil dalam dunia pendidikan.
Disamping itu, Masyarakat perlu mendukung SANPUKAT untuk mengembangkan model ekonomi silkular yang mana aktivitas ekonomi dibuat untuk menciptakan manfaat berkelanjutan. Memang SANPUKAT bukan perusahaan bisnis, namun untuk menjaga kelangsungan operasional dan pengembangan lembaga, prinsip tanggung jawab sosial dan ekonomi silkular perlu diterapkan. SANPUKAT harus mempertimbangkan bukan hanya keberlanjutan finansial, tetapi juga dampak sosial dari operasinya, baik dalam hal pendidikan yang disediakan maupun dalam memperhatikan kesejahteraan komunitas yang dilayaninya.
Bahkan, SANPUKAT, sebagai bagian dari sektor non-profit, dapat memanfaatkan peluang untuk berkolaborasi dengan sektor bisnis yang berorientasi pada keuntungan, misalnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan yang bertanggung jawab sosial (CSR). Model ini bisa memperkuat keberlanjutan finansial SANPUKAT sekaligus memastikan bahwa tujuan sosial untuk pendidikan tetap terjaga.
Dengan langkah-langkah strategis dan kolaborasi yang tepat, SANPUKAT memiliki peluang besar untuk mengatasi tantangan finansial dan memperkuat perannya dalam dunia pendidikan. Memang jalan yang dilalui penuh rintangan dan tidak sekali jadi, Namun hal itu sudah menunjukkan bukti nyata komitmen SANPUKAT terhadap visi mulia pendidikan bagi generasi mendatang. Komunitas SANPUKAT mesti bersyukur telah memilih untuk terus berjuang dan beruntung SANPUKAT tidak memilih untuk menyerah.
Daftar Pustaka
Paus Benediktus XVI. Caritas in Veritate: Kasih dalam Kebenaran. Diterjemahkan dari teks Italia dan Inggris oleh B. R. Agung Prihartana, MSF. Editor: F.X. Adisusanto SJ & Bernadeta Harini Tri Prasasti. Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta, Desember 2014.
Žižek, Slavoj. The Sublime Object of Ideology. Edisi pertama oleh Verso, 1989. Edisi ini dipublikasikan oleh Verso. London and New York: 2008