Parabel Hidup Paus Fransiskus
Wafatnya Paus Fransiskus menandai berakhirnya sebuah babak penting dalam sejarah Gereja Katolik dan dunia. Kepergiannya membawa duka yang mendalam karena kisah hidupnya yang menginspirasi, menggugah, dan menafsirkan Injil dalam cara yang baru. Paus Fransiskus menghadirkan suatu wajah Gereja yang penuh kehangatan, empati, dan kedekatan dengan realitas manusiawi. Ia tidak hanya berbicara tentang Injil, tetapi menghidupi Injil itu sendiri dalam tindakan-tindakan kecil maupun keputusan besar yang ia ambil. Hidupnya menjadi semacam “perumpamaan atau parabel kontemporer” tentang kasih Kristus dan perutusan Gereja di tengah dunia yang tidak hanya mengajar dengan dokumen, tetapi menggugah dengan simbol, gestur, dan paradoks.
Sebagaimana perumpamaan Yesus mengandung daya yang mendekonstruksi dan membangun ulang pemahaman tentang Allah dan Kerajaan-Nya, demikian pula Paus Fransiskus mendekonstruksi gaya kepemimpinan yang megah, memulihkan wajah Gereja sebagai komunitas peziarah yang rapuh namun setia berjalan bersama yang tertinggal. Ia menghidupi Injil tidak dalam idealisme, tetapi dalam konkretitas sejarah, luka, dan harapan umat manusia modern. Karena itu, Paus Fransiskus menjadi perumpamaan/parabel injil yang hidup dan selalu terbuka untuk direspons dan dimaknai, kendati Habemus Papam itu telah beristirahat dalam damai. Requiescat in pace (RIP).
Figur Paus Fransiskus
Pengalaman-pengalaman awal Jorge Mario Bergoglio sebelum ia digelari Paus Fransiskus menjadi semacam ladang simbolik tempat struktur naratif nantinya bertumbuh. Latar belakang sosial, budaya, politik, dan spiritual di mana ia dibentuk memberikan warna yang kuat terhadap cara ia memandang dunia dan mewartakan Injil.
Jorge Mario Bergoglio lahir pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina, dari keluarga imigran Italia kelas pekerja. Ia tumbuh dalam lingkungan sederhana, yang sejak awal menanamkan nilai kedekatan dengan rakyat kecil, kerja keras, dan kesalehan Katolik yang kuat. Bahkan, kota Buenos Aires menjadi latar penting yang membentuk sensitivitas sosial dan spiritualitas Bergoglio sebab di sana ia bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan moral dan rohani yang berat tentang peran Gereja dalam situasi masyarkat. Bahkan, ia mulai mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan modern, hingga menyesuaikan ajaran Katolik dengan pluralisme dan politik progresif. Hal ini turut dipengaruhi juga oleh Pendidikan filsafat dan teologi yang ia jalani di Colegio Máximo de San José di Argentina yang memberikan dasar bagi pemikirannya yang lebih progresif, mengutamakan tindakan langsung dan komunikasi yang efektif dalam memahami peran Gereja. (Michael Jones, 2017)
Kendati demikian, tak jarang ia mendapat kritik dari kalangan Katolik konservatif yang merasa bahwa Gereja kehilangan esensi tradisionalnya sebagai ajang untuk menegaskan kekuatan iman Katolik. Kalangan konservatif melihat Gereja sebagai benteng terakhir bagi nilai-nilai tradisional, sementara yang lain menganggapnya sebagai institusi yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan politik. Namun justru dalam problematik itulah terbentuk karakter spiritualitas Paus Fransiskus yang tidak mengawang di langit doktrin, tetapi berpijak di tanah debu manusia dan terbuka terhadap pluralisme serta pendekatan yang lebih diplomatis dalam hubungan Gereja dengan dunia modern. Suatu hal yang mencerminkan hermeneutika diskontinuitas yang telah membawa perubahan besar dalam Gereja setelah Konsili Vatikan II. (Michael Jones, 2017)
Konfigurasi Paus Belas Kasih
Kisah kepausan Fransiskus adalah kisah yang sarat simbol, tindakan profetis, dan bahasa kasih. Salah satu tindakan simbolik pertamanya yang mengguncang dunia yakni pemilihan nama Fransiskus. Di sana, ia langsung menyiratkan arah spiritualitas dan pastoralnya yakni kemiskinan, kedamaian, dan kedekatan dengan ciptaan, sebagaimana diwariskan oleh Santo Fransiskus dari Assisi. Narasi itu kemudian dikonfirmasi dan diperluas melalui berbagai gestur simbolik yang menggemakan visi Injil dalam bentuk konkrit. Beberapa di antaranya yakni, Paus Fransiskus mencuci kaki para narapidana termasuk perempuan Muslim di sebuah penjara dalam Misa Kamis Putih tahun 2013. Selain itu, Paus Fransiskus juga membuat keputusan yang menyentuh simbolisme ruang dan gaya hidup. yakni menolak tinggal di Istana Apostolik Vatikan dan memilih menetap di Casa Santa Marta, sebuah rumah tamu sederhana.

Langkah dan tindakan Paus Fransiskus ini memberi wajah baru bagi Gereja bahwa Gereja bukan menara gading yang memandang dari atas, tetapi rumah yang terbuka bagi siapa pun yang rapuh, jatuh, atau tersesat. Tindakannya tersebut merupakan simbol penolakan terhadap logika penghakiman dan citra kemegahan. Karena itu, Paus Fransiskus lebih memilih pendekatan penuh kasih yang mampu menyentuh hati manusia. Pendekatan ini merupakan kelanjutan dari visi yang pernah dikumandangkan oleh Paus Yohanes XXIII dalam pidato pembukaan Konsili Vatikan II pada 11 Oktober 1962. Dalam pidatonya, Yohanes XXIII menegaskan bahwa Mempelai Kristus lebih memilih menggunakan obat belas kasih daripada obat ketegasan. Paus Fransiskus, dengan caranya yang khas, menjadi kelanjutan hidup dari warisan tersebut sehingga tak heran kepausannya berciri belas kasih yang mana belas kasih adalah suara yang mengatakan kepada kita untuk ‘membenci dosa, tetapi mengasihi pendosa. (Michael J. Ruszala, 2013). Dengan demikian, narasi Paus Fransiskus bukan hanya dibentuk oleh kata-kata, melainkan oleh tindakan performatif yaitu tindakan yang bukan hanya merepresentasikan makna, melainkanjuga mewujudkan makna itu sendiri. Paus Fransiskus menjadi semacam “teks hidup” di mana spiritualitas Injil dijelmakan dalam bentuk baru yang bisa dibaca dan diinterpretasikan oleh dunia modern.
Selain itu, identitas dan arah pastoral Paus Fransiskus dapat dilihat juga pada narasi-narasi tekstualnya yang mencerminkan hati seorang gembala. Beberapa di antaranya yakni Narasi Evangelii Gaudium (2013) yang merupakan Narasi Sukacita Injil. Dalam dokumen apostolik itu, paus Fransiskus tidak hanya menyerukan Injil, tetapi juga menata ulang arah Gereja dari lembaga yang defensif menjadi komunitas yang keluar menuju dunia dengan semangat sukacita, kasih, dan kehadiran. Karena itu, Paus Fransiskus lebih menyukai Gereja yang kotor karena telah keluar ke jalanan dari pada Gereja yang sakit karena tertutup dan terpaku pada kenyamanannya sendiri.
Horizon naratif ini kemudian diperluasnya ke arah yang jarang disentuh dalam dokumen magisterial sebelumnya yakni ekologi integral. Dalam Laudato Si’ (2015) yang merupakan narasi alam ciptaan, Paus Fransiskus tidak hanya berbicara tentang lingkungan hidup sebagai isu teknis, tetapi sebagai jaringan relasional antara manusia, sesama makhluk, dan Sang Pencipta yang memperlihatkan bahwa krisis ekologis adalah krisis spiritual dan moral karena dirusak oleh dosa keserakahan, tetapi masih bisa dipulihkan oleh pertobatan ekologis.
Akhirnya, Fratelli Tutti (2020) yang merupakan Narasi Persaudaraan Semesta menyampaikan seruan universal Paus Fransiskus akan persaudaraan, melampaui batas bangsa, agama, dan ideologi. Ia mengembangkan narasi Samaritan yang murah hati sebagai figur kunci dalam membangun dunia yang penuh belas kasih berhadapan dengan dunia yang dilanda fragmentasi sosial, populisme, kekerasan, dan indiferensiasi. Tak heran narasi pastoral yang ditampilkan oleh Paus Fransiskus yakni “budaya perjumpaan” sebagai jalan damai. Di situ, Ia mengajak umat beriman untuk menjadi bagian dari kisah besar tentang kesatuan manusia sebagai ciptaan yang satu, meski dalam perbedaan.
Semua narasi Paus Fransiskus, entah narasi gestur maupun narasi tekstual bukan hanya sebuah kisah personal, melainkan menjadi kisah profetis, yang menawarkan horizon baru bagi Gereja dalam memahami dunia. Gereja belajar bahwa kekudusan bukan hanya milik altar dan kapel, tetapi juga ditemukan dalam kepedulian ekologis, advokasi bagi yang terpinggirkan, dan relasi sosial yang saling merangkul.
Rekonfigurasi Gaya Hidup Gereja
Warisan Paus Fransiskus, sebagaimana teks-teks yang penuh daya naratif, tidak berhenti pada dokumen atau gestur, melainkan menjadi kerangka hidup baru bagi Gereja dan para pembacanya. Spiritualitas dan pastoralitas Fransiskus bukan konsep teoretis, melainkan narasi transformatif yang mengajak Gereja untuk meninggalkan gaya hidup bermegahan dan menjadi saksi kesederhanaan yang membebaskan. Dalam praktik pastoral, ini mendorong Gereja, bahkan semua orang untuk “keluar” dari struktur yang nyaman dan mengunjungi perbatasan eksistensial yakni kawasan kumuh, orang-orang miskin dan tertindas, dan tempat-tempat Kristus tersembunyi dalam wajah-wajah yang rapuh karena bagi Paus Fransiskus “Tuhan menyertai setiap orang, dan kita pun harus menyertai mereka, mulai dari situasi mereka masing-masing. Kita harus menyertai mereka dengan belas kasih.” (Michael J. Ruszala, 2013)
Selain itu, inklusivitas yang konsisten hadir dalam tindakan dan kata-kata Paus Fransiskus mengajak Gereja untuk mengedepankan pendekatan gembala yang mengenal domba, memahami luka mereka, dan menghindari penghakiman yang kaku. Hal ini sangat tersirat ketika Paus ditanya tentang rumor imam gay di Vatikan setelah Hari Orang Muda Sedunia di Rio, dan Paus menjawab: “siapa saya untuk menghakimi”?. Paus Fransiskus mengajarkan bahwa kebenaran harus berjalan bersama kerahiman, dan bahwa setiap orang, terlepas dari situasi hidupnya, memiliki tempat dalam hati Gereja. (Michael J. Ruszala, 2013). (Christian Romario)
PUSTAKA
Jones, E. M. (2017). Pope Francis in context: Have the end times arrived in Buenos Aires? Fidelity Press.
Ruszala, M. J. (2013). Pope Francis: Pastor of mercy. Wyatt North Publishing.