Sekolah adalah tempat memperoleh ilmu sehingga semua anak mesti mendapat perlakuan sama dari guru. Namun tempat ini menjadi sedikit diskriminatif ketika seorang guru hanya menyayangi murid yang cemerlang dengan penuh kasih. Sementara di sudut lain, seorang anak yang disebut “nakal” mendapati dirinya hanya sebagai sosok yang harus dikendalikan. Inilah fenomena pilih kasih yang pernah ada di dunia persekolahan. Fenomena pilih kasih sejenak nampak sebagai kelemahan manusiawi seorang pendidik. Tetapi jika diamati lebih dalam, mungkin ada yang lebih struktural daripada sekadar kelemahan manusiawi.
Dari sudut pandang strukturalis Louis Althusser, fenomena ini menunjukkan bahwa sekolah bukan sekadar tempat belajar, melainkan sebuah Aparatus Ideologi. Sekolah adalah sistem simbolik yang secara halus membentuk siapa yang berhak mendapatkan perhatian dan siapa yang sebaiknya dikendalikan. Sistem simbolik menjadikan pilih kasih di sekolah bukan lagi sekadar ekspresi emosi seorang guru, melainkan juga efek dari suatu interpelasi ideologis yang mana murid berbakat dan pintar diundang untuk menjadi subjek yang patut dihargai. Sedangkan murid nakal dan kurang mampu diinterpelasi sebagai gangguan yang harus ditertibkan.
Murid yang nakal, malas mencatat, sering terlambat, atau banyak bicara di kelas akan mendapati dirinya terus-menerus diawasi, ditegur, atau diabaikan oleh guru. Suatu fenomena yang memberi kesan bahwa sistem tak benar-benar memberi ruang untuk memahami atau mengubah dirinya. Murid yang nakal ibarat Josef dalam Novel karya Frans Kafka berjudul The Trial. Ia dituduh dan dihakimi tanpa pernah benar-benar diberi kesempatan untuk memahami kesalahannya. Ia menjadi bagian dari sistem yang irasional yang menganggapnya masalah sejak awal sebelum ia sempat membuktikan sesuatu.

Sistem yang irasional ini tak hanya bekerja melalui aturan, tetapi juga melalui kenikmatan. Žižek menyebutnya jouis-sense, semacam kenikmatan terselubung dalam ideologi. Dalam fenomena pilih kasih antara murid yang pintar dan murid yang nakal, kenikmatan itu nampak lewat mekanisme ideologi yang diam-diam merapikan hierarki antara anak yang pintar (yang dikasihi) dan anak yang nakal (yang berulah). Pilih kasih yang diberikan kepada murid yang pintar dan berbakat adalah cara untuk mengukuhkan bahwa guru telah memilih subjek yang “layak” mendapatkan kasih dan penghargaan. Sedangkan murid yang nakal tetap diabaikan dan didisiplinkan. Rupanya ada kepuasan dalam tindakan itu karena di sana, otoritas guru ditegakkan dan hierarki ditegaskan. Paradoksnya, murid yang nakal kadang menikmatinya. Seorang anak yang kerap dihukum mungkin akan semakin berulah dan terus berulah karena sistem itu sendiri telah memberinya label sebagai anak yang nakal. Sistem telah lebih dulu membuat label anak pintar sebagai yang terbaik dan anak yang nakal sebagai gangguan.
Kendatipun demikian, ideologi ini punya titik batas sebagaimana halnya mimpi yang diilustrasikan Lacan. Dalam psikoanalisis Lacan, ada cerita tentang seorang ayah yang bermimpi melihat anaknya terbakar. Dalam mimpi, si anak memanggilnya: “Ayah, tidakkah kau lihat aku terbakar?”. Ayah itu terbangun, tapi justru di sanalah tragedi dimulai karena ternyata api itu benar-benar ada dan sedang membakar rumahnya. Inilah momen keterjagaan. Momen seperti ini juga dapat terjadi di sekolah ketika suatu kejadian membuat segalanya tak bisa lagi diabaikan seperti ketika seorang anak yang hamil di usia sekolah, kelompok pelajar yang terlibat dalam kekerasan, ataupun seorang siswa yang kehilangan masa depannya. Saat itu, orang akan sadar bahwa sistem ini memang sejak awal tak pernah memberi mereka kesempatan.
Karena itu, jika ingin mengubahnya, kita harus melakukan lebih dari sekadar meminta guru untuk lebih adil. Yang harus diubah bukan hanya sikap, tetapi struktur ideologis yang membuat kita, sejak awal, melihat anak-anak dengan kacamata hitam-putih seperti yang baik dan yang buruk, yang pintar dan yang nakal, yang layak dikasihi dan yang harus diredam. Akan tetapi, bisakah kita benar-benar terbangun dari mimpi ini? Atau, seperti ayah dalam cerita Lacan, kita baru sadar ketika api sudah terlanjur membakar segalanya?. (Romi Romario)