Fenomena percaloan dalam proses seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sedang menjadi sorotan publik. Sorotan itu menyasar pada upaya calo yang memperdayai para guru honorer dengan iming-iming lolos PPPK lewat jalan pintas sebagaimana dilansir Kompas pada November 2024, Calo Memperdaya Guru Honorer dengan Menunggangi Momen Seleksi PPPK.
Iming-iming calo tidak pernah gratis. Calo selalu mendapat sejumlah uang dari para guru honorer. Jumlah yang diminta pun bervariasi dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Namun, bukan hanya guru honorer, guru swasta pun berpotensi diperdayai oleh calo.
Calo memanfaatkan posisi sulit para guru tersebut untuk melakukan eksploitasi. Upah yang rendah dan tekanan untuk mengamankan masa depan melalui pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadikan guru honorer dan guru swasta ditargeti oleh para calo.
Fantasi Ideologis Janji Kelulusan PPPK
Fenomena calo PPPK ini adalah gambaran dari ketimpangan sistemik dalam dunia pendidikan, di mana ketidakpastian ekonomi guru honorer dan swasta serta harapan untuk lulus PPPK dijadikan alat manipulasi oleh calo dengan menebarkan janji kelulusan. Janji tersebut menjadi bentuk eksploitasi ekonomi dan alat ideologi yang memanfaatkan fantasi individu akan masa depan yang lebih baik.
Janji kelulusan PPPK menjadi objek sublimasi yang membangun daya tarik kuat bagi guru honorer dan swasta. Bagi Zizek, dalam The Sublime object of Ideology, objek sublimasi merupakan sesuatu yang secara inheren tidak sempurna, tetapi dipersepsi sangat bernilai karena dibungkus oleh fantasi. (Zizek, 95). Hal ini nampak pada Janji kelulusan PPPK yang diumbar para calo yang sekalipun tidak sempurna, tetapi terlihat sangat bernilai bagi guru honorer dan swasta sebab harapan mereka untuk diangkat sebagai PPPK, yang seolah menjadi solusi atas permasalahan ekonomi dan ketidakstabilan pekerjaan, telah berubah menjadi fantasi ideologis.
Fantasi ideologis bukan sekedar keyakinan, melainkan juga mekanisme yang membuat individu merasa baik-baik saja atau nyaman dengan keadaan mereka. Bahkan fantasi ideologis membuat individu menerima sistem yang tidak adil. Barangkali itu pula yang menghantui para guru honorer dan swasta. Mereka merasa baik-baik saja sewaktu memberikan uang kepada calo karena ada fantasi bahwa dengan membayar calo, ketidakpastian ekonomi dan ketidakstabilan pekerjaan mereka dapat teratasi. Ada fantasi bahwa keberhasilan dalam seleksi PPPK tergantung pada uang yang dibayar kepada calo, bukan pada kompetensi. Para guru honorer dan swasta mungkin berpikir bahwa tanpa membayar calo, peluang untuk lolos PPPK pasti sangat kecil sehingga mereka menerima ketidakadilan yang dilakukan oleh para calo kepada mereka. Mereka menerima dan terlibat aktif dalam fantasi bahwa pengorbanan finansial adalah harga yang wajar untuk lolos PPPK. Hal ini membuat ketidakadilan dan eksploitasi yang dilakukan oleh calo terhadap mereka tampak wajar dan diterima oleh guru honorer dan swasta sehingga ada normalisasi ketidakadilan.
Calo Mengisi Celah Meritokrasi PPPK
Normalisasi ketidakadilan yang melibatkan guru honorer dan swasta turut melancarkan calo untuk mereduksi harapan lolos PPPK menjadi objek komoditas. Calo menawarkan janji-janji kelulusan PPPK bukan karena aspirasinya yang tinggi terhadap ketidakpastian ekonomi guru honorer dan swasta, melainkan karena janji-janji kelulusan tersebut merupakan produk yang dapat diperjualbelikan. Calo tidak berpikir tentang empati, tetapi ekonomi.
Janji-janji kelulusan PPPK terbentuk karena calo melihat celah dibalik meritokrasi seleksi PPPK. Dalam meritokrasi, semua guru termasuk guru honorer dan swasta diberi kesempatan yang sama untuk mengikuti seleksi PPPK. Namun hanya guru yang memiliki kemampuan dan kualifikasi terbaik yang dapat lolos PPPK.
Alhasil, kesempatan yang sama untuk mengikuti seleksi PPPK hanya berakhir sebagai realitas simbolik bahwa sistem pendidikan telah bertindak adil terhadap semua guru, termasuk guru honorer dan swasta. Namun, realitas simbolik ini sebenarnya menutupi fakta bahwa kurangnya kebaikan tetap melekat dalam sistem, karena hanya segelintir guru yang akhirnya berhasil diangkat menjadi PPPK yang dapat memenuhi harapan akan upah yang layak, sementara mayoritas guru honorer dan swasta yang tidak lolos PPPK tetap terpinggirkan.
Kondisi ini memperkuat keretakan struktural yang dibangun oleh sistem dimana guru PPPK lebih diprioritaskan pemerintah dengan upah yang layak dan status yang lebih stabil. Sementara itu guru honorer dan guru swasta non PPPK menjadi kelompok yang terpinggirkan.
Atas dasar itu, maka meritokrasi seleksi PPPK nampak memberikan celah bahwa harapan akan upah yang layak dan status yang stabil hanya diberikan kepada guru PPPK melalui seleksi, dan bukan sebagai hak yang harus dijamin kepada semua guru terlepas dari status dan kompetisi.
Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh calo untuk mendapatkan keuntungan dengan menjual janji-janji kelulusan PPPK. Dalam hal ini, percaloan bukan sekadar penyimpangan dari sistem, tetapi memanfaatkan cara sistem itu sendiri beroperasi, di mana meritokrasi PPPK menjadi prasyarat bagi keberlangsungan eksploitasi. Andaikan saja kesejahteraan guru tidak bergantung pada seleksi, tetapi menjadi hak yang dijamin oleh sistem pendidikan kepada semua guru apapun statusnya, maka percaloan tidak mungkin terjadi.
Kehadiran calo yang menawarkan janji kelulusan mencerminkan symptom dari kurangnya kebaikan dalam sistem pendidikan yang belum mampu memberikan perhatian yang memadai bagi guru honorer dan swasta. Rendahnya upah guru honorer dan swasta, minimnya dukungan pemerintah, dan celah simbolik meritokrasi seleksi PPPK menciptakan ruang subur bagi praktik-praktik eksploitasi.
Mengatasi Ekploitasi Terhadap Guru Honorer dan Swasta
Sistem pendidikan perlu diarahkan pada reformasi struktural yang tidak hanya menutup celah bagi praktik percaloan, tetapi juga memberikan keadilan bagi guru honorer dan swasta. Beberapa di antaranya antara lain: penguatan kebijakan kesejahteraan guru yang memastikan bahwa semua guru memiliki akses ke upah yang layak dan perlindungan kerja lewat pemberian subsidi gaji bagi semua guru tanpa tanpa membedakan apakah mereka bekerja di sekolah negeri, swasta, atau sebagai PPPK. Kebijakan ini membantu guru honorer dan swasta untuk tidak lagi memandang seleksi PPPK sebagai satu-satunya cara untuk memperbaiki kesejahteraan sehingga mereka tidak perlu terjebak dalam fantasi ideologis dan menormalisasi ketidakadilan yang dilakukan oleh calo. Selain itu, subsidi ini juga memastikan bahwa gaji guru honorer dan swasta tidak lagi bergantung pada jumlah murid. Karena itu, negara harus mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa kesejahteraan guru bukanlah hasil dari persaingan seleksi, atau jumlah murid, tetapi merupakan hak yang dijamin untuk semua guru dalam sistem pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. (Romi Romario)
Artikel yang sama juga dimuat di media jaringan Tempo, www. Indonesiana.Id, https://www.indonesiana.id/read/177526/jual-beli-harapan-pppk