Agama memang memiliki baris kata yang tak banyak. Namun, agama memiliki pengaruh yang tak terbilang banyaknya. Sepanjang masa dari waktu ke waktu, ada-ada saja kejadian atas nama agama. Agama telah menginspirasi kehidupan banyak orang. Bahkan, para ateis yang katanya tidak mengakui Tuhan sekalipun banyak menulis tentang agama. Agama memiliki pengaruh karena padanya hidup sebuah ‘nama sementara dari yang tak-sementara’ yakni Tuhan. Secara kreatif, Amir Hamzah membahasakan-Nya lewat sajak berikut:
Suka bersalinkan ratap
Kasih beralih cinta
Cinta pembawa wasangka
Junjunganku apatah kekal
Apatah tetap
Apatah tak bersalin rupa
Apatah baka sepanjang masa..
Hal demikian tidak ditemukan pada Sigmund Freud. Sigmund Freud sangat pandai dalam psikoanalisa. Psikoanalisa menjadi kekuatan bagi Sigmund Freud untuk mengkritik eksistensi agama. Dalam bukunya The Future and Ilusion, Sigmund Freud memandang agama hanyalah sebuah ilusi. Sigmund Freud memiliki pandangan yang berseberangan dengan Descartes yang mengutamakan kesadaran sebagai struktur dasar manusia lewat semboyan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Sebaliknya, Sigmund Freud melihat struktur terbesar kehidupan manusia adalah ketak-sadaran. Ketak-sadaran membuat manusia berilusi tentang sesuatu yang diyakininya. Akibatnya bahwa keyakinan yang dibayangkan manusia tidak memiliki hubungan dengan realitas yang dapat diverifikasi atau dibuktikan. Atas dasar itu, maka Sigmund Freud menyebut Tuhan sebagai ilusi yang dibuat oleh manusia karena keberadaan Tuhan tidak dapat diverifikasi atau dibuktikan. Manusia berilusi tentang Tuhan ketika berhadapan dengan penderitaan dan tekanan-tekanan dalam hidup. Manusia memperoyeksikan ketak-sadaran kepada Tuhan yang dianggapnya sebagai bapa maha kuasa yang dapat membebaskannya dari penderitaan dan tekanan hidup. Pada saat itu, manusia memasuki kerinduan infantil yakni kerinduan seorang anak kecil pada sosok bapa yang dapat menyelamatkannya.
Kritik Freud terhadap agama tentu saja dipengaruhi oleh aliran positivisme yang berkembang saat itu. Aliran positivisme percaya bahwa sesuatu dikatakan benar kalau dapat dibuktikan lewat penemuan, pengamatan, dan percobaan. Akibatnya bahwa Sigmund Freud lebih memandang Allah sebagai kerinduan infantil (anak-anak) akan sosok bapa yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Sigmund Freud melihat Tuhan sebagai ilusi karena keberadaan Tuhan dikaitkan dengan ego narsistik yang mana ketika berhadapan dengan penderitaan dan tekanan hidup, perkembangan psikis manusia beralih dari tahap dewasa ke tahap infantil. Kemudian, ketak-sadaran manusia menciptakan Tuhan dalam gambaran seorang Bapa yang dapat memberikan pertolongan kepada manusia di tengah persoalan hidupnya.
Dalam konteks ini, Ilusi tentang Tuhan sebagai bapa yang diartikan oleh Freud sudah semestinya dipertemukan dengan sosok Tuhan sebagai Bapa dalam ajaran Yesus dari Nazareth. Doa ‘Bapa kami yang diajarkan Yesus boleh dikatakan sebagai antagonisme terhadap sosok Tuhan sebagai bapa dalam psikoanalisis Sigmund Freud. Dalam doa’ Bapa kami’, Yesus mengatakan : Bapa kami yang ada di sorga/dikuduskanlah nama-Mu/datanglah kerajaan-Mu/. Yesus menyapa Allah sebagai figur eskatologis yang berbelas kasih. Tuhan sebagai Bapa tidak timbul dari kerinduan infantil sebagaimana dimaksudkan oleh Freud, tetapi muncul dari suatu perjalan sejarah yang panjang, Berawal dari penggelaran simbolis Yahwe menjadi Bapa, pernyataan dari Allah sendiri, hingga sapaan langsung terhadap Tuhan sebagai Bapa oleh Yesus Kristus. Yesus berbicara tentang Tuhan sebagai bapa yang bersolider dengan penderitaan manusia. Namun solidaritas Allah terhadap manusia tidak menghilangkan tanggungjawab manusia terhadap suka dan duka hidup yang dilaluinya. St. Fransiskus Xaverius membahasakannya dalam doa berikut: “Tuhan aku mengasihi Engkau/ Mengasihi bukan untuk diselamatkan olehmu.
Meskipun demikian, kritikan Sigmund Freud atas agama adalah juga kritikan untuk kita. Terkadang orang menjumpai Allah hanya ketika ada masalah atau penderitaan. Alih-alih beriman kepada Allah, orang hanya menunjukkan kerinduan infantil akan sosok bapa yang dapat membebaskannya dari tekanan hidup. Berdoa kepada Allah hanya ketika ada masalah bisa jadi berdoa bukan karena iman, melainkan karena mekanisme psikis belaka. Beriman dan beragama yang sejati berarti mengasihi Tuhan dalam suka dan duka dan dalam untung dan malang. (Christian Romario)