Di negeri yang sibuk bolak-balik kurikulum, pendidikan kadang dipandang sebagai seperangkat nilai yang diajarkan di ruang kelas. Peserta didik cukup diajarkan tentang budi pekerti, peserta didik cukup dibekali dengan pengetahuan dan norma-norma sosial. Namun kita lupa bahwa pendidikan bukan hanya soal akumulasi informasi, bukan pula semata soal pengetahuan yang ditansfer kepada peserta didik. Pendidikan mesti melampaui itu semua. Pendidikan harus menciptakan kebajikan sebagai habit peserta didik.
Dalam Summa Theologiae, Thomas Aquinas menegaskan bahwa kebajikan adalah sebuah kebiasaan yang mengakar dalam diri manusia, membentuknya dari dalam, mengarahkan rasio dan kehendaknya menuju yang baik. Kebajikan bukan sekadar tindakan baik yang sesekali dilakukan, bukan pula sekadar dorongan moral yang muncul sesaat dalam momen-momen tertentu. Kebajikan, dalam pandangannya, adalah suatu habit. (Thomas Aquinas, The Summa Theologica, 1947).
Kebajikan sebagai habit niscaya dibentuk dengan pengalaman dan refleksi moral yang terus menerus dalam berpikir dan bertindak yang baik. Dalam konteks ini, kebajikan tidak sama dengan kekuatan alami. Aquinas menegaskan bahwa kekuatan alami, seperti insting pada hewan, sudah otomatis diarahkan pada tindakannya.
Seekor burung tak perlu belajar cara membangun sarang. Begitupun halnya seekor ikan tak perlu diajari berenang. Tetapi manusia berbeda. Kebebasan manusia berarti kemungkinan untuk tersesat karena akal dan kehendak manusia tidak secara otomatis mengarah pada tindakan yang baik.
Itulah sebabnya manusia memerlukan habit—sebuah latihan terus-menerus dalam berpikir dan bertindak yang baik hingga terciptalah kebajikan yang oleh Thomas Aquinas disebut sebagai kualitas baik dari pikiran, dengan mana kita hidup dengan benar, yang tidak dapat disalahgunakan oleh siapa pun, yang dikerjakan Tuhan dalam diri kita, tanpa kita. (Thomas Aquinas, The Summa Theologica, 1947)

Barangkali inilah yang hilang dari pendidikan yakni latihan terus-menerus dalam berpikir dan bertindak yang benar. Pendidikan lebih sibuk dengan angka-angka di rapor daripada karakter anak didik. Anak-anak terbiasa mencari jawaban yang benar, tetapi jarang diajari bertanya. Anak-anak diajari untuk mengejar nilai, bukan untuk memahami makna. Bahkan kurikulum silih berganti dengan membawa janji pembaruan, termasuk dalam aspek pendidikan karakter. Namun, apakah perubahan ini benar-benar menumbuhkan kebajikan, atau sekadar menyesuaikan kebijakan?
Kebajikan bukan sekadar kompetensi yang bisa diukur dalam rubrik asesmen. Ia lebih dari sekedar sesuatu yang dipelajari untuk lulus ujian. Kebajikan adalah sesuatu yang harus hidup dalam pengalaman siswa, dalam cara mereka bertanya, berdialog, dan menghadapi dilema moral dalam kehidupan sehari-hari. kebajikan bukan sekadar perilaku yang diatur oleh regulasi, melainkan sebuah kebiasaan berpikir yang memungkinkan manusia bertindak benar bukan karena paksaan dan kepatuhan pada aturan, tetapi karena kesadaran.
Namun, bagaimana kita bisa mengajarkan kebajikan dalam sistem pendidikan yang sibuk dengan angka dan adminitrasi? Mungkin kita bisa mulai dengan mengubah cara kita menilai keberhasilan. Keberhasilan seorang murid tidak lagi hanya bisa diukur dari nilainya, tetapi juga dari cara ia memperlakukan sesamanya. Demikianpun keberhasilan seorang guru bukan hanya dalam seberapa banyak muridnya lulus ujian, tetapi dalam bagaimana ia menanamkan nilai kejujuran dan keberanian berpikir dalam kelasnya.
Jika demikian, maka pendidikan bukan hanya soal mencetak orang-orang yang bisa bekerja, tetapi juga orang-orang yang bisa menjadi manusia yang lebih baik. Pendidikan tidak sekadar mengajarkan kebajikan, tetapi membentuk kebajikan sebagai habit. Jika tidak, kita hanya akan terus mengulang kesalahan yang sama yakni sistem pendidikan yang sibuk menilai anak-anak, tetapi lupa membentuk habit anak-anak. (Romi Romario. Artikel yang sama diterbitkan juga di media jaringan tempo https://www.indonesiana.id/read/180811/pendidikan-sebagai-habit).
PUSTAKA
Aquinas, Thomas. The Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. Benziger Bros., 1947.