Renungan harian Kamis, 6 Februari 2024
Bacaan I – Ibr.12:18-19,21-24, Mzm. 48: 2-3a,3b-4,9,10,11
Bacaan Injil – Mrk. 6:7-13
“jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat, rotipun jangan, bekalpun jangan, uang dalam ikat pinggangpun jangan, boleh memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju. Kata-Nya selanjutnya kepada mereka: “Kalau di suatu tempat kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari tempat itu.”
Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengutus kedua belas murid-Nya untuk mewartakan Kerajaan Allah, tetapi Ia tidak membekali mereka dengan harta benda ataupun barang-barang yang berlimpah. Para murid hanya dibekali dengan tongkat dan alas kaki. Hal itu bukan karena Yesus tidak mempunyai harta benda, melainkan karena Yesus ingin mengajarkan bahwa pelayanan bukanlah soal kenyamanan, melainkan soal penyerahan diri. Yesus mengutus para murid dengan kemiskinan evangelis agar mereka belajar mempercayakan hidup mereka sepenuhnya kepada penyelenggaraan Allah.
Ajaran Yesus tersebut masih berlaku hingga sekarang, tetapi adakah kita masih memiliki semangat yang sama seperti para murid yakni melayani kerajaan Allah dengan bekal tongkat dan alas kaki, melayani dengan bekal kesederhanaan dan iman akan penyelenggaraan Allah?. Ini adalah pertanyaan yang menantang di zaman ini sebab di dunia modern, banyak orang ingin terlibat dalam pekerjaan sosial dan ingin berkarya dalam Gereja, tetapi hanya jika hal itu menguntungkan bagi mereka. Banyak orang kadang menakar pelayanan dalam hitungan keuntungan pribadi. Jika tidak ada penghargaan atau keuntungan material, kita cenderung menarik diri. Kita mejadikan pelayanan sosial dan pelayanan Gereja dalam logika pasar untung dan rugi, bukan dalam semangat kasih dan pengorbanan. Hal itu yang membuat banyak orang cenderung menghindari tempat-tempat yang sulit dan mencari posisi yang nyaman. Padahal, di tempat-tempat yang paling sulit itulah Injil harus diwartakan. Di sanalah Tuhan justru hadir dalam rupa mereka yang membutuhkan. Dalam pandangan Filsuf Emanuel Levinas, mereka yang berada di tempat-tempat sulit—kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan—menampakkan epifani wajah, di mana Tuhan hadir bukan dalam bentuk metafisik yang abstrak, tetapi dalam pengalaman konkret bertemu dengan sesama yang membutuhkan.

Karenanya mewartakan Kerajaan Allah melalui kasih, kebenaran, dan keadilan dengan hanya berbekalkan tongkat, alas kaki, dan tinggal di satu rumah merupakan ajakan Yesus kepada kita agar selama menjalankan tugas dan pelayanan, kita tidak berpindah-pindah demi kenyamanan atau keuntungan yang lebih besar. Ini adalah ajakan untuk berakar dalam penyelenggaraan Allah, bukan dalam sikap transaksional untung rugi terhadap tugas dan pelayanan. Pelayanan mewartakan kerajaan Allah melalui kasih, kebenaran, dan keadilan bukanlah soal mencari kehormatan, melainkan tentang kerendahan hati untuk melayani Allah dan sesama.
Saudara-saudari terkasih
Yesus mengutus kita bukan untuk mencari kenyamanan, tetapi untuk menjadi saksi kasih yang percaya bahwa Allah mencukupi segalanya. Kita dipanggil untuk mengandalkan Allah, bukan mengandalkan apa yang kita miliki. Sebab kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam memiliki banyak hal, tetapi dalam memberi diri dan bekerja dengan tulus. Maka, marilah kita melangkah seperti para rasul yang mewartakan kerajaan Allah dan menjalankan tugas dengan hati yang bebas, tangan yang terbuka, dan iman yang teguh. Amin.