SANPUKAT KEUSKUPAN MAUMERE
Menu
  • Beranda
  • Berita
  • Blog
    • Humaniora
    • Renungan
    • Storytelling
  • Mitra
    • Kindermissionwerk
  • Galery
  • Disclaimer
  • About
Menu

MEMBACA SAFEGUARDING DALAM BUDAYA. HARI KETIGA LOKAKARYA SAFEGUARDING

Posted on 4 Juni 20254 Juni 2025 by Sanpukatadmin

Selalu ada sesuatu yang tersimpan dalam sebuah huruf. Kadang makna. Kadang luka. Kadang janji.

Selasa, 3 juni 2025, matahari belum terlalu tinggi ketika lokakarya safeguarding memasuki hari ketiga. Pagi itu, kegiatan dimulai dengan pose bersama. Nampak peserta membentuk barisan tidak begitu rapi, tapi penuh semangat sambil beberapa orang berdiri  memegang huruf-huruf yang mengeja satu kata yang tidak lahir dari bahasa Indonesia, tetapi ingin tinggal di hati Indonesia: safeguarding.

Salah satu huruf, “A”, dipegang oleh Lisa Wileke selaku safeguarding officer Missereor. Ia berpakaian floral, tersenyum sabar, dan berbicara lembut. Ia mungkin tidak mengenal semua orang di situ, tapi mengerti bahwa mereka sedang membentuk makna yang tak bisa diucapkan sendiri-sendiri. Ini seperti penanda bahwa safeguarding bukanlah konsep samar, tapi komitmen kolektif.

Setelah kamera berhenti diklik oleh Program Manager Desma Center, Adrianus Ubas, langkah-langkah peserta pun berpindah ke halaman depan Rumah Khalwat St. Anna. Di sana, mereka bermain Laila, Simson, dan Lion. Tiga nama yang tampak seperti tokoh dalam kitab suci, tapi pagi itu menjadi permainan penyegar untuk mengingat materi hari sebelumnya. Permainan ini tidak hanya membangkitkan tawa, tapi membangkitkan kembali kemanusiaan sebagai homo ludens (makhluk bermain) seperti ikhtiar Johan Huizinga.

Lalu, seperti peralihan musim dari musim semi ke gugur, peserta kembali bergerak ke dalam ruang pertemuan. Dindingnya krem, langit-langitnya putih, dan semi terbuka seolah ruangan itu membiarkan cahaya untuk menerangi akal dan budi peserta. Dalam suasana itu, seorang suster membuka kembali lembar-lembar pembelajaran tentang connect, concrete, concept, dan change. Ia menutupnya dengan seutas kalimat:  “Disiplin berpikir,” katanya, “adalah menulis apa yang dikerjakan, dan mengerjakan apa yang ditulis.”

Budaya dan Safegurding

Tapi bagaimana menulis tentang luka? Bagaimana menulis tentang keadilan dari dalam adat dan budaya?. Atau dalam terminologi Teologi politik Johann Baptist Metz, bagaimana kita menulis sejarah para korban dan kisah-kisah mereka yang gagal, tertindas, atau dikorbankan. Jika sejarah hanya ditulis oleh para pemenang, tokoh besar, ataupun kebudayaan yang mendominasi, maka makna sejarah menjadi timpang karena tidak menyuarakan mereka yang menderita. Padahal justru di sanalah letak potensi paling dalam dari kemanusiaan kita yakni dalam luka, dalam tangis, dan dalam perjuangan yang tak selalu berhasil.

Dan Ibu Pupu sepertinya  memberi jalan lewat materinya tentang peran budaya dalam safeguarding. Di depan spanduk besar bertuliskan “Du machst den Unterschied, Ibu Pupu menyisir kompleksitas adat dari sistem kekerabatan yang kuat, pengaruh agama, dan budaya dalam kekuasaan, hingga tabu tentang kekerasan. Ia bicara tentang budaya. Tentang bagaimana adat bisa menjadi pagar atau penjara. Tentang penyelesaian secara adat yang kadang menjadi labirin. “Kadang,” katanya, “korban tidak mendapat keadilan karena penyelesaian budaya lebih mendahulukan kehormatan ketimbang kebenaran.”Di sana, gema tragedi klasik muncul kembali. Seperti Antigone yang ditinggalkan oleh hukum demi tatanan negara.

Hal ini pun memantik diskusi yang hidup di mana para peserta mulai menyumbangkan pemikirannya. Beberapa di antaranya yakni Bapak Andreas dari SHEEP Indonesia yang menyela dengan berkata: “Jangan melihat budayanya saja, tapi juga tingkat pendidikannya supaya tidak ada resistensi. Ada juga Maria Jeanindya dari SMIPA DISADA yang menekankan pentingnya perhatian terhadap literasi diri dan sensibilitas terhadap bahasa zaman sekarang dan budaya generasi sekarang.  Dan Lisa Wileke yang menambahkan dengan nada tenang namun tegas, “Budaya tak boleh jadi alasan untuk mengabaikan Safeguarding.”

Kemudian, sesi berlangsung ke diskusi kelompok. Di antara meja-meja berlapis taplak, peserta lalu berdiskusi dan mempresentasikannya. Beberapa tema  seperti kawin tangkap dan cium tangan dibedah. Peserta tak lagi membahas budaya sebagai objek etnografis, tapi sebagai lanskap sosial yang harus dimaknai ulang. Bahkan Program Manager Desma Center, Boyke NH Hutapea menyatakan dengan arif, “Orang-orang zaman dulu itu, mereka sebenarnya sudah punya safeguarding-nya sendiri. Hanya saja kita perlu membacanya.” Sungguh benar. Hanya kita saja yang lupa membaca bahasa mereka.

Namun, di sela-sela diskusi, waktu makan siang menyelip seperti sela napas panjang. Tapi itu bukan akhir sebab  setelahnya kira-kira pukul 13.19 WITA, ice-breaking berupa tepuk tangan pagi, siang, sore, malam dimulai dan disusul  rangkuman poin-poin kunci dari hasil diskusi oleh Local coordinator MISEREOR dan KINDERMISSIONWERK Ibu Pupu Puwaningsih. Poin-poin tersebut meliputi: penguatan kapasitas, power inbalance, kasus tidak tertuntaskan, norma budaya,  advokasi bersama, nilai leluhur safeguarding, kolaborasi, partisipasi, serta pemaknaan kembali adat dan budaya. Rangkuman ini mendorong satu  per satu peserta menyampaikan kembali  refleksinya . Seperti Program Manager Yapnusda-Unika Weetebula , Herlinda Saka yang bicara tentang keberanian untuk speak up. Lalu diikuti Maria Jeanindya dari SMIPA DISADA yang menguraikan pentingnya perluasan literasi, bukan hanya baca tulis, tapi juga literasi diri dan lingkungan. Hingga Juliva Distanto yang mengangkat persoalan katekumenat bagi pasangan yang bermasalah dengan beberapa bait refleksi “Saya bukan kecelakaan. Saya bukan kesalahan. Saya bukan masalah. Saya adalah mujizat.” Kata-katanya seperti gema yang memantul di dinding-dinding krem, menembus lebih dalam dari sekadar ruang.

OTORITAS DAN KETIADAAN BERPIKIR

Tanpa disadari diskusi yang asyik menghantar peserta kepada sore yang diam-diam merayap. Lisa Wileke pun mengiring langkah-langkah peserta berpindah ke depan rumah khalwat St. Anna yang diselimuti jalan setapak dan tanaman hias. Di sana, Lisa memfasiltasi peserta untuk   terlibat dalam sebuah permainan yang sangat anonim di mana empat peserta ditugaskan untuk mendekati seorang Suster yang berdiri di tengah permainan dan Suster tersebut hanya cukup memberikan instruksi stop apabila peserta itu mulai mendekat. Tak ada podium. Tak ada mikrofon. Hanya ruang lingkar dan tubuh-tubuh yang saling membaca satu sama lain dalam sebuah game. Tapi lebih dari game, itu adalah cermin.

Usai permainan, peserta kembali ke ruang pertemuan. “Tidak ada yang berpikir untuk menghentikan saya karena game tersebut membuat suster tak nyaman,” ujar Lisa dalam refleksi di ruang pertemuan. “Itulah bahayanya kuasa, ia bisa melewati batasan diri dan orang lain tanpa kita sadari.”, tambah Lisa merangkum semuanya. Lisa Wileke  menunjukkan bahwa kita terlalu sering lupa bahwa orang bisa jadi pelaku hanya karena mereka punya otoritas. Dan korban bisa diam hanya karena tidak ada yang mengajaknya bicara atau menginterupsi. Kata-katanya mengingatkan pada ajaran filsuf Politik Hannah Arendt bahwa banalitas kejahatan sering terjadi karena ketiadaan berpikir sebagaimana Adolf Eichmann  yang menjadi objek kajian Arendt. Eichmann tidak tampak sebagai sosok jahat secara ideologis, melainkan sebagai pegawai patuh yang “hanya menjalankan tugas.” Eichman tak berpikir bahwa ada orang yang tersakiti karena ia patuh pada tugas dan mengaganggap semuanya wajar. Barangkali game dari Lisa mencerminkan ketiadaan berpikir dari peserta karena semuanya dianggap wajar dan patuh pada instruksi game tanpa mempedulikan suster yang nampak tak nyaman.

Lalu, Lisa pun menjelaskan kontrak proyek safeguarding yang akan dijalankan. “Hentikan tindakan yang membahayakan martabat, Pastikan tidak ada orang yang digambarkan secara merendahkan. Lindungi pelapor. Rahasiakan. Latih semua yang terlibat.”katanya. Satu per satu prinsip disebut, dan satu per satu kepala mengangguk. Namun Ini bukan hanya soal aturan. Ini tentang membangun kembali kemanusiaan di tempat-tempat yang selama ini dianggap biasa. Lisa pun menegaskan MISEREOR, sebagai lembaga pendukung, tak akan menghentikan proyek hanya karena ada kasus. Tapi, seperti yang dijelaskan, “apakah langkah melindungi korban sudah dilakukan? Apakah mitra menceritakan kepada MISEREOR apabila terjadi kasus?” Kepercayaan adalah fondasi kemitraan. Dan fondasi itu dibangun dari kebenaran yang diungkap, bukan disembunyikan.

Pukul 15.30, sesi berlanjut. Dari Lisa, tongkat estafet diberikan kepada Bapak Adrianus dari SHEEP Indonesia yang memaparkan tentang protokol perlindungan dan keamanan, eksploitasi seksual, perlindungan anak, penipuan, korupsi, hingga praktik tak etis dibahas sebagaimana dialami oleh SHEEP Indonesia.

PENDIDIKAN DAN SAFEGUARDING

Kegiatan hari ketiga ditutup oleh Ibu Pupu dengan narasi. Suaranya pelan tapi utuh, seakan setiap kata punya kaki dan tahu arah. Ia tidak menutup dengan rangkuman angka, atau jargon program. Tapi dengan satu kutipan yang perlahan menumbuhkan sunyi yakni pendidikan adalah pembebasan, sebagaimana ikhtiar Paulo Freire.  Pendidikan bukan tentang mencetak orang baik dengan ukuran lama, tapi membuka ruang bagi manusia untuk menjadi dirinya sendiri.

Di sinilah safeguarding menemukan napasnya.

Karena safeguarding bukan hanya tentang pagar dan larangan. Bukan juga tentang peraturan atau memenuhi standar proyek agar pendanaan dari donor tidak berhenti, melainkan tentang membuka ruang-ruang aman, ruang bicara, dan ruang bertumbuh. Tentang membuat manusia mampu menyebut dirinya sendiri, dengan kata yang mereka pilih, bukan yang dipaksakan oleh budaya atau sistem. Tapi apakah mitra akan melakukannya?. Ini pertanyaan yang tidak mudah dan hanya kenyataan yang bisa membuktikan. Barangkali pertanyaan ini cukup ditutup dengan sepenggal kalimat untuk memulai dari seorang Pastor:

“ Pencuri yang baik. Saya tidak melihat, tapi Tuhan yang melihat.” (Christian Romario)

Category: Kindermissionwerk

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • 2025
  • 2024
  • 2023
  • 2022

BERAGAM INFORMASI SANPUKAT

SANPUKAT–Kindermissionswerk Serahkan Hadiah Lomba Perlindungan Anak di SDK Habi
Kindermissionwerk

MEAL OFFICER SANPUKAT-KINDERMISSIONWERK SERAHKAN HADIAH LOMBA PERLINDUNGAN ANAK SDK HABI

Maumere, Berita SANPUKAT – Monitoring, Evaluation, Analysis, and Learning (MEAL) Officer SANPUKAT & Kindermissionswerk–Jerman, Christian Romario menyerahkan hadiah lomba The ...
Baca Selanjutnya
9 Agustus 2025 / Sanpukatadmin
Berita

KETUA SANPUKAT LAKUKAN KUNJUNGAN PERDANA KE SMP DAN SMAS SEMINARI MARIA BUNDA SEGALA BANGSA

Maumere, Berita SANPUKAT – Ketua SANPUKAT yang baru dilantik, RD. Yulius Helibertus, melakukan kunjungan perdananya ...
Baca Selanjutnya
30 Juli 2025 / Sanpukatadmin
Berita

MARGARETA YULIANTI RESMI DITETAPKAN SEBAGAI KEPALA SDK NANGALIMANG OLEH KETUA SANPUKAT

Maumere, Berita SANPUKAT – Penjabat (Plt) Kepala SDK Nangalimang, Margareta Yulianti, S.Pd , resmi ditetapkan ...
Baca Selanjutnya
30 Juli 2025 / Sanpukatadmin

IKUTI PERLINDUNGAN ANAK KINDERMISSIONWERK

SANPUKAT–Kindermissionswerk Serahkan Hadiah Lomba Perlindungan Anak di SDK Habi
Kindermissionwerk

MEAL OFFICER SANPUKAT-KINDERMISSIONWERK SERAHKAN HADIAH LOMBA PERLINDUNGAN ANAK SDK HABI

Maumere, Berita SANPUKAT – Monitoring, Evaluation, Analysis, and Learning (MEAL) Officer SANPUKAT & Kindermissionswerk–Jerman, Christian Romario menyerahkan hadiah lomba The ...
Baca Selanjutnya
9 Agustus 2025 / Sanpukatadmin
Kindermissionwerk

MENJADI MICROSOFT INNOVATIVE EDUCATOR EXPERT DARI WEBINAR BERSAMA KOMDIGI, MICROSOFT, BERSAMA FOCUS AND TARGET

Pada Selasa, 8 Juli 2025, seorang staff SANPUKAT Christian Romario mengikuti sebuah webinar nasional bertajuk ...
Baca Selanjutnya
10 Juli 2025 / Sanpukatadmin

RASA NYAMAN BERSAMA RENUNGAN SANPUKAT

MENUMBUHKAN AKAR MASA DEPAN: CERITA DARI ANAK-ANAK SDK MAUMERE 2
Renungan

MENUMBUHKAN AKAR MASA DEPAN: CERITA DARI ANAK-ANAK SDK MAUMERE 2

Di sebuah sudut damai di Pulau Flores, tepatnya di Keuskupan Maumere, anak-anak berkumpul bukan hanya untuk belajar menghitung atau mengeja ...
Baca Selanjutnya
Renungan

KERJA TANPA HENTI SEPERTI SYSYPHUS

Renungan Sabtu, 8 Februari 2024 BACAAN PERTAMA: Bacaan dari Surat kepada Orang Ibrani 13:15-17.20-21, MAZMUR TANGGAPAN: Mazmur 23:1.3a.4b.5.6, BACAAN INJIL: ...
Baca Selanjutnya
Renungan

ANDALKAN ALLAH, BUKAN ANDALKAN HARTA BENDA

Renungan harian Kamis, 6 Februari 2024 Bacaan I – Ibr.12:18-19,21-24, Mzm. 48: 2-3a,3b-4,9,10,11 Bacaan Injil – Mrk. 6:7-13 “jangan membawa ...
Baca Selanjutnya

IKUTI GALERY SANPUKAT

TERIMA KASIH YANG TULUS KEPADA BPK. ANDREAS HUGO PARERA
Galery

TERIMA KASIH YANG TULUS KEPADA BPK. ANDREAS HUGO PARERA

Perjalanan panjang Yayasan Persekolahan Umat Katolik (SANPUKAT) dalam melanjutkan warisan misi pendidikan Katolik lewat sekolah-sekolah di bawah naungannya tidak hanya ...
Baca Selanjutnya
pelatihanhari ke V sanpukat dan smipa disada
Galery

GALERY PELATIHAN HARI KE V SANPUKAT BERSAMA DENGAN SMIPA DISADA

Pelatihan hari ke V Smipa Disada bersama guru dan tutor SANPUKAT berfokus pada presentasi modul literasi, Sabtu (16/12/2023) ...
Baca Selanjutnya
pelatihan hari keempat guru dan tutor SANPUKAT bersama SMIPA DISADA
Galery

GALERY PELATIHAN HARI KEEMPAT GURU DAN TUTOR SANPUKAT BERSAMA SMIPA DISADA

Guru dan tutor SANPUKAT mengikuti pelatihan hari keempat yang dibawakan oleh SMIPA DISADA (jumad, 15/12/2023) ...
Baca Selanjutnya
© 2025 sanpukatmaumere | Powered by Minimalist Blog WordPress Theme