Saya tidak menyangka bergabung dalam sertifikasi AI dari Elsevier Scopus Academy. Elsevier merupakan sebuah perusahaan penerbitan akademik yang terkenal dan mengelola Scopus dan platform ScienceDirect yang menjadi sumber daya penting bagi para peneliti dan profesional di seluruh dunia. Namun terlepas dari semuanya ini, saya mendapat pelajaran penting dari Elsevier tentang literasi AI. Literasi AI adalah tentang mengetahui, memahami, menggunakan, mengevaluasi teknologi AI, dan mempertimbangkan isu-isu etika yang melekat di dalamnya. Karena itu, individu yang melek AI belum tentu ahli teknis yang bisa memprogram robot atau menulis kode neural network. Kendati demikian individu yang melek AI telah memahami konsep-konsep dasar AI seperti pembelajaran mesin dan pemrosesan bahasa alami. Mereka juga memahami peluang dan keterbatasan yang terkait dengan teknologi tersebut.
Apalagi saat ini di mana AI semakin sporadis mulai dari dari rekomendasi film di Netflix hingga chatbot virtual langsung di dalam aplikasi WhatsApp turut membuat kebutuhan literasi AI menjadi hal utama. Literasi kritis AI memiliki lima dimensi kritis sebagaimana diajarkan dalam canvas Elselvier yakni:
Pertama, memahami cara Kerja AI. Memahami dasar cara kerja AI, termasuk bagaimana ia belajar dari data dan membuat prediksi, dapat membantu orang melihat bahwa AI mempunyai logika yang bisa ditelusuri sehingga mendorong orang untuk lebih bijak dalam mengevaluasi hasil yang diberikan AI
Kedua, mengenali ketimpangan dan bias. AI dibuat oleh manusia sehingga data yang digunakannya pun berasal dari dunia yang tidak netral. Karena itu, bias-bias sosial bisa ikut masuk ke dalam sistem, jika tidak diawasi dengan cermat.
Ketiga, mengkaji isu-isu etis. AI berpotensi menghadirkan dilema moral baru. Karena itu, orang mesti lebih reflektif sebelum menerima penggunaan AI.
Keempat, merancang prompt yang efektif. Prompt adalah bahasa baru di mana instruksi yang tepat dan kontekstual kepada AI bisa sangat menentukan kualitas respon yang diberikan. Dalam koteks ini, prompt bukan hanya soal teknik, tapi juga soal berpikir jernih dan kritis.
Kelima, menilai penggunaan yang tepat. Tidak semua masalah perlu solusi AI. Dalam banyak kasus, pendekatan manusiawi jauh lebih relevan dan etis. Di sinilah Literasi AI melatih orang untuk menilai tentang kapan sebaiknya AI digunakan?. Atau kapan seharusnya kita berhenti dan menyerahkan keputusan pada manusia?
Selain kelima hal ini, saya juga diperkenalkan dengan Agentic AI di mana AI bukan hanya menunggu perintah (prompt), melainkanjuga AI bisa membuat tujuan sendiri, menyusun rencana, dan mengambil tindakan. Ini seperti meminta AI untuk membantu membuat kue cokelat malam ini. AI jenis lama mungkin akan memberimu resep. Tapi agentic AI akan mencarikan bahan, menemukan toko, bahkan memesankan semua bahan untuk diantar ke rumah Anda, lengkap dengan resep yang sudah dicetak.
Dalam konteks ini, Copilot dari Scopus AI adalah salah satu contoh nyata dari agentic AI. Sebab scopus AI dapat memilih sendiri apakah akan menggunakan pencarian vektor atau pencarian kata kunci, menerjemahkan kata, memperbaiki ejaan, dan menyusun ulang query untuk hasil yang optimal secara otomatis. Jadi, AI agentik Seperti yang dikatakan Mike Elgan di Computerworld, bukan sekadar menjawab, tapi berpikir dan bertindak.
Namun, Elsevier menegaskan bahwa AI tak boleh dilepaskan begitu saja seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Ada prinsip-prinsip etis yang harus memagari langkahnya seperti menghormati privasi, mencegah bias, memastikan transparansi, dan selalu melibatkan pengawasan manusia. Saya kira ini adalah hal yang mudah terlewatkan ketika orang menggunakan bantuan AI. Dan itulah mengapa literasi AI penting di sekolah-sekolah. (Christian Romario)