Di sebuah sudut damai di Pulau Flores, tepatnya di Keuskupan Maumere, anak-anak berkumpul bukan hanya untuk belajar menghitung atau mengeja. Mereka berkumpul untuk mengenal siapa diri mereka, dari mana mereka berasal, dan bagaimana mereka bisa menjadi penjaga bumi yang bijaksana. Hal itu diwujudkan lewat Program Child Protection for Children at Elementary School in Maumere/Flores yang diselenggarakan SANPUKAT dan KINDERMISSIONWERK-Jerman.
Melalui rangkaian delapan kegiatan tematik bulan Mei yang dipandu oleh tutor berdedikasi, Elisabeth Yuvila, anak-anak diajak menapaki jalan pembelajaran yang hidup bukan dari buku semata, tetapi dari pengalaman, permainan, refleksi, dan karya nyata. Mari ikuti jejak mereka, hari demi hari.
Jejak Awal: Menemukan Budaya, Menemukan Diri
Kegiatan tematik bertajuk literasi lingkungan itu dimulai pada Sabtu sore, 10 Mei 2025. Pada hari itu, tawa anak-anak SDK Maumere 2 menggema saat mereka bergerak mengikuti cerita rakyat Du’a Nalu Pare yang mana mereka sedang menghidupkan kembali warisan nenek moyang. Kemudian, dengan semangat penuh, anak-anak membentuk kelompok kecil dan menjelajahi lingkungan sekolah untuk misi budaya. Ada yang menemukan daun kelor, kunyit, bahkan alat musik tradisional dan pakaian adat. “Saya senang ikut kegiatan ini, karena jadi tahu nama-nama tanaman di sekitar dan manfaatnya,” kata Priska, sambil menggambar poster edukasi yang memadukan sereh dan daun kelor.
Hari itu, mereka tak hanya belajar nama tumbuhan atau jenis alat musik, tetapi menyentuh akar budaya yang selama ini mungkin tersembunyi di balik kesibukan pelajaran sekolah sebagaimana diungkapkan oleh sang tutor. “Kegiatan literasi yang mengangkat budaya lokal membuat anak-anak lebih terhubung dengan jati diri dan alam sekitar mereka,” ujar sang tutor, Elisabeth Yuvila.
Menyemai Budaya Positif di Sekolah
Pada Senin, 12 Mei 2025, suasana kelas VIB berubah menjadi ruang permainan penuh makna. Anak-anak menjadi “teman rahasia”, dengan menjaga kenyamanan satu sama lain secara diam-diam yang mana pelajaran awal tentang empati dimulai. Selain itu, anak-anak diajak menjadi “detektif sekolah” yang mengamati taman, perpustakaan, dan kantin. Di taman, mereka menciptakan slogan ceria: “Taman ceria, anak-anak bahagia”. Sementara di perpustakaan, pantun-pantun sederhana lahir dari tawa yang tak dibuat-buat. “Menurut saya, kegiatan budaya positif membuat kami lebih semangat belajar dan lebih peduli terhadap teman dan lingkungan,” ucap Tricel dengan mata berbinar. Dengan demikian, dari kolase impian hingga mini drama, anak-anak diajak membayangkan kelas yang bersih, rapi, dan penuh tanggung jawab.
Hak, Kewajiban, dan Kota Mini
Selasa, 13 Mei 2025, anak-anak menjadi warga dari sebuah “Kota Mini”. Dalam simulasi yang digelar di kelas, mereka memerankan pemimpin, jurnalis, dan warga biasa. Arga memimpin, sementara Tricel menjaga lingkungan. Tak hanya itu saja, melalui permainan lintas misi, mereka belajar tentang hak bermain di taman dan kewajiban menjaga kebersihannya. Mereka memahami bahwa mendapatkan pendidikan berarti juga menghormati guru. Kemudian pembuatan Poster bertema “Warga Hebat, Lingkungan Hebat” menjadi penutup kegiatan. Poster ini membawa pesan utamanya jauh lebih dalam yakni hidup bersama berarti saling memberi dan menjaga. Tentu saja hal ini mendapat respons positif dari anak-anak “Saya senang karena belajar tentang hak dan kewajiban di rumah, sekolah, dan masyarakat,” kata Framelo.

Mengenali Teman, Merawat Persahabatan
Pada Kamis, 15 Mei 2025, teras kelas berubah menjadi ruang perkenalan mendalam. Anak-anak duduk berpasangan, saling bertanya: apa hobimu? Makanan favoritmu? Bagaimana kamu menjaga lingkungan?. Lalu, di pos tantangan, mereka belajar kerja sama melalui puzzle, berdiskusi dalam dilema moral, dan membuat puisi menjaga lingkungan serta membuat poster bertuliskan karakter baik yang mereka temukan pada teman. Dalam galeri sederhana itu, tumbuh benih saling menghargai yang tak kasat mata.
Hal ini membuat anak-anak merasa senang. salah satunya adalah Candra. “Seru, karena saat bermain bersama teman dan saling bercerita, saya lebih mengenal sifat teman-teman,” ujar Candra.
Kebiasaan Kecil, Dampak Besar
Esok harinya, Jumat, 16 Mei 2025, anak-anak kembali belajar lewat permainan “Bintang atau Awas”. Dalam permainan ini, setiap tindakan harus dinilai: baik atau buruk?. Permainan ini Lucu tapi mendidik, apalagi ketika yang salah harus menerima hukuman ringan dari teman-teman. Selanjutnya anak-anak menjelajah “Lintasan Si Bijak”, membedakan tindakan ramah lingkungan dan tidak. Hingga puncalnya pada kegiatan Pohon Kebiasaan” yang mana anak-anak menulis pada daun hijau untuk kebiasaan baik, daun kuning untuk yang buruk. Refleksi hari itu diakhiri dengan kalimat sederhana dari anak-anak tentang perubahan kecil yang akan mereka lakukan mulai sekarang. Seperti: “Saya akan lebih rajin membuang sampah pada tempatnya,” ujar Cia, penuh tekad
Menjadi Penjaga Bumi
Pada 20 Mei 2025, kelas kembali riuh oleh tawa saat anak-anak melihat gambar lingkungan rusak dan bersih. Mereka menuliskan pesan seolah bumi bisa bicara. “Kalau aku bisa bicara, aku ingin kalian berhenti membuang sampah ke sungai,” tulis salah satu siswa. Misi Hijau itu dimulai dengan membuat tempat pensil dari botol bekas, menyusun cerita tentang perjalanan daun menuju tempat sampah, hingga menulis slogan pelestarian lingkungan. Bahkan salah satu anak berkomentar: “Menjaga lingkungan itu seru,” kata Vika, “karena kami bisa mengurangi sampah sambil membuat kerajinan.”
Detektif Lingkungan dan Janji Siaga
Esok harinya 21 Mei 2025, anak-anak menjadi “Detektif Lingkungan”. Dalam permainan itu, mereka menilai gambar, mendengarkan suara hutan dan kota, mencatat potensi bahaya, dan membedakan tempat yang aman dan tidak. Dari kegiatan ini lahir komik strip tentang anak-anak yang mengubah lingkungan berbahaya menjadi tempat yang aman. “Seru karena kami bisa melihat gambar dan cerita tentang tempat yang aman dan yang harus dihindari,” kata Donse. LaludDi akhir sesi, setiap anak menulis janji kecil: menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan, dan menjadi pengawas bagi lingkungan sekitarnya.

Peta Peran dan Dinding Komitmen
Hari Jumat, 23 Mei 2025, menjadi penutup yang menggugah. Anak-anak membuat “Kartu Identitas Peran” tentang apa tugas mereka di rumah dan di masyarakat. Selanjutnya, anak-anak bermain drama mini. Drama mini dan permainan kampung sehat mengajarkan mereka bahwa sekecil apapun aksi, tetaplah berarti.
bahkan dalam sesi “Peta Peranku”, anak-anak menggambar rumah, taman, dan sekolah, lalu menuliskan tindakan kecil yang berarti seperti mematikan lampu, menyiram tanaman, dan memungut sampah. Salah satu peserta turut berkomentar: “Saya tahu tugas apa saja yang bisa saya lakukan di rumah dan sebagai warga masyarakat,” kata Priska.
Puncaknya, mereka menandatangani “Kontrak Agen Lingkungan” yakni janji mereka sendiri yang ditulis dengan tangan mungil, ditempelkan di dinding kelas sebagai bukti komitmen.
Menjaga Dunia Lewat Tangan Kecil
Delapan hari penuh makna, delapan kegiatan yang bukan sekadar pembelajaran, tapi penanaman nilai. Anak-anak SDK Maumere 2 tak hanya membaca atau mendengar, mereka mengalami, berefleksi, dan menciptakan. Dari mengenal budaya lokal, memahami hak dan kewajiban, hingga menjadi penjaga bumi, anak-anak diajarkan tentang langkah kecil menuju masa depan yang lebih baik. Elisabeth Yuvila, sang tutor berkata, “Anak-anak ini sedang menanam harapan. Mereka belajar dari hal-hal nyata, dari tanah tempat mereka berpijak, dari teman di samping mereka, dan dari bumi yang mereka jaga. Suatu hari, akar kecil yang kita tanam hari ini akan tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi banyak kehidupan.” Dan Di SDK Maumere 2, masa depan itu sedang dipupuk dengan tangan-tangan kecil yang bersih, tawa yang jujur, dan hati yang mulai belajar peduli. (feature: Christian Romario/ report dan foto: Elisabeth Yuvila)