Renungan Sabtu, 8 Februari 2024
BACAAN PERTAMA: Bacaan dari Surat kepada Orang Ibrani 13:15-17.20-21, MAZMUR TANGGAPAN: Mazmur 23:1.3a.4b.5.6, BACAAN INJIL: Markus 6:30-34
“Marilah kita pergi ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak“
Saudara-Saudari Yang Terkasih dalam Tuhan
Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, orang sering kali merasa ditelan oleh kesibukan yang tiada akhir. Kesibukan tanpa akhir ini bukan tanpa sebab. Kadang kalanya kesibukan itu dipengaruhi oleh standar kesuksesan yang menuntut kita untuk selalu produktif, selalu maju, selalu bekerja tanpa henti. Namun, setelah kita mencapai semuanya, kita masih merasa tidak puas lalu bekerja lagi, mengejar promosi lagi, proyek baru lagi, atau lebih banyak uang tanpa henti.
Kita sepertinya menghidupkan kembali tragedi Sisyphus seperti yang ditulis oleh Filsuf Albert Camus. Sisyphus dihukum untuk terus-menerus mendorong batu ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke bawah. Dia melakukannya berulang kali tanpa henti. Sysyphus menjadi perumpamaan bagi kita yang berulang kali tanpa henti mengejar jabatan, meningkatkan produktivitas, menambah prestasi. Tetapi semakin kita mendaki dan mencapainya, semakin kita menyadari bahwa kepuasan yang kita dambakan selalu kurang, kita belum puas juga lalu mengejarnya lagi dan lagi. Sampai akhirnya kelelahan fisik dan mental menjadi harga yang kita bayar, sementara jiwa kita semakin kering.
Namun, dalam injil hari ini, Kristus datang membawa terang bagi jiwa yang letih. Yesus mengajak murid-murid-Nya untuk beristirahat: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak!” (Mrk 6:31). Di sini, Yesus, Sang Guru sendiri, memahami bahwa manusia memiliki batas. Yesus tidak ingin murid-murid-Nya terjebak dalam pola kerja tanpa henti yang melelahkan jiwa. Ia mengajarkan bahwa istirahat bukanlah tanda kelemahan, tetapi bagian dari kebijaksanaan hidup.

Saudara-saudari Terkasih
Di tengah dunia yang memuja produktivitas tanpa batas, Tuhan mengundang kita untuk berhenti sejenak. Ia tidak memanggil kita untuk menjadi mesin yang terus bekerja, tetapi anak-anak yang tahu kapan harus melangkah dan kapan harus bersandar pada-Nya. Karenanya melepaskan diri dari hustle culture atau gaya hidup yang menekankan kerja keras tanpa henti dan produktivitas sebagai tolak ukur utama bukan berarti menyerah pada hidup, melainkan sebuah keputusan untuk tidak tenggelam pada gaya hidup duniawi, tetapi pada kasih Tuhan. Kita tidak boleh lupa bahwa manusia hidup bukan dari roti, uang, dan makanan duniawi saja, melainkan juga dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Mat 4:4). Manusia boleh berusaha tetapi jawaban lidah berasal dari Tuhan (Amsal 16:1).
Saudara-Saudari Terkasih
Hari ini, marilah kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita bekerja untuk hidup, atau hidup untuk bekerja? Apakah kita terus mengejar sesuatu yang tidak pernah benar-benar memuaskan, atau kita telah menemukan istirahat sejati dalam pelukan Tuhan? Jangan biarkan diri kita terjebak dalam gaya hidup bekerja yang tak berujung. Berhentilah sejenak. Dengarkan suara Tuhan. Izinkan Dia menjadi gembala yang menuntun kita keluar dari kelelahan menuju damai sejahtera yang sejati. Karena dalam Kristus, kita tidak hanya hidup, tetapi kita sungguh-sungguh hidup dan mengalami kehidupan. Amin.