“Di tengah pusaran kegelapan, kejahatan kerap dimaklumi sebagai kewajaran”. Demikianlah sepotong kalimat yang pernah disampaikan oleh Najwa Shihab, seorang pembawa acara yang pernah bertugas di Metro TV. Walaupun kalimat ini cuma sepotong, tetapi ada kebenaran besar di dalamnya. Sepotong kalimat itu menyampaikan keadaan dunia yang tidak pernah luput dari kejahatan. Kejahatan sepertinya sudah menjadi habitus lama yang berdiam di tengah kehidupan manusia. Karena itu, kriminalitas bukan lagi kejahatan luar biasa, melainkan masalah yang sudah biasa bagi masyarakat.
Kriminalitas nampaknya wajar-wajar saja dihadapan mata yang memandang. Mungkin yang tidak wajar adalah kenyataan bahwa tidak ada kriminalitas dimanapun. Kriminalitas sebagai representasi dari kejahatan ada dimana saja dan bentuknya pun ada-ada saja. Ada yang berbentuk pelecehan seksual sehingga melahirkan kampanye bertajuk stop pelecehan seksual di Halte Busway. Ada yang berbentuk pencurian bagian mobil konvertel katali sebagaimana dilaporkan oleh National Insurance Crime Bureau. Ada juga kriminalitas yang terjadi di dunia maya seperti serangan siber bertajuk Operation Aurora yang mencuri intellectual property dari Google demi mendapat akses terhadap akun-akun aktivis publik di Cina. Bahkan pada saat ini, kasus yang nampaknya menjadi perhatian publik yakni kematian Brigadir J yang oleh Menko Polhukam, Mahfud Md dinilai berbeda dengan kasus kriminal biasa. Kriminalitas memang memiliki banyak jenisnya. Meskipun demikian bentuknya tetap sama yakni kejahatan. Kejahatan ada dimana saja dan bisa terjadi kapan saja. Karena itu, tidak heran, Bang Napi, lewat acara sergap di RCTI tempo dulu, pernah berpesan “Ingat, kejahatan bukan semata-mata ada karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah.”.
Kejahatan memang mesti diwaspadai. Tetapi adakalanya kejahatan mesti masuk dalam diskursus ketuhanan. Ketika hal itu terjadi, aktualitas dunia saat ini sebagai dunia terbaik yang diciptakan Tuhan sepertinya dipertanyakan. Kalau Tuhan maha kuasa, kenapa ada kejahatan di dalam dunia. Dalam dunia yang terbaik semestinya tidak ada pelecehan seksual di Halte Busway, tidak ada pencurian part mobil konverter katalis, dan tidak ada tindakan kriminal lainnya. Leibniz, seorang filsuf jerman, menyebut situasi ini sebagai dunia yang mungkin. Dunia yang mungkin memang dapat dipikirkan, tetapi tidak dapat merubah kenyataan bahwa ada kriminalitas di tanah air ini dan di negeri-negeri yang lain. Meskipun begitu, negara Indonesia dan negara-negara yang lain adalah dunia terbaik yang diciptakan oleh Tuhan. Akan tetapi, yang terbaik bukan berarti yang sempurna. Ketidaksempurnaan itu terletak pada kontingensi kebebasan rakyatnya. Kasus pelecehan seksual di Halte Busway, pencurian part mobil konverter katalis, dan operation aurora adalah bukti bahwa kekebasan rakyat tidak otomatis membuatnya melakukan kebaikan. Itulah sebabnya kriminalitas tidak ada hubungannya dengan Tuhan sebagai pencipta dunia yang terbaik, tetapi berhubungan dengan kontingensi kebebasan rakyat yang tidak terikat pada keniscayaan untuk melakukan kebaikan.
Dengan mengikuti pandangan Gottfried Wilhelm von Leibniz dapat dinyatakan bahwa secara antesenden, Tuhan menghendaki dunia dan manusia yang baik. Namun secara konsekuen, pelecehan seksual di halte busway, serangan siber berbentuk operation aurora, hingga kematian Brigjen J, pada dasarnya, mengungkapkan kecondongan dari kebebasan manusia terhadap sesuatu yang buruk. Itulah yang membuat kejahatan bersifat sine qua non dalam dunia yang terbaik. Rakyat hanya bisa bebas dari kondisi ini apabila sejak dini anak-anak mulai dilatih untuk mencondongkan dirinya pada hal-hal yang baik seperti membiasakan anak-anak untuk tidak berbicara vulgar, tidak menginginkan barang orang lain, dan tidak berkelahi dengan sesamanya. Hal ini memang sederhana nampaknya, tetapi berdampak besar bagi masa kini dan masa depan. Demikianlah teodise, pembelaan konsep ketuhanan dihadapan kriminalitas. ( oleh Christian Romario)
sumber gambar dari www. generali.com