SATIRE ATAS NAMA SEMESTA
Fr. Sandro Losor
Mari kita menghormati bangsa dan tanah air kita ini dengan menyanyikan bersama:
LAGU INDONESIA RAYA ( pengibaran bendera merah putih)
LAGU GUGUR BUNGA ( para awak teater mengheningkan cipta )
Vox:
Kami cerewet bernarasi pada aksara dan angka-angka buta ini, kami menyanyi di sini, kami tiup sangkakala ini, kami bernarasi di sini, dari tengah semesta yang kamu penuhi dan sesaki dengan lumpur dan kotoran manusia. Kami sepotong suara, yang berbicara dari ruang dan waktu. Dari ruang dan waktu yang punya intensi. Ruang dan waktu mengijinkan kami bernarasi. Kami menulis supaya kami dapat bernarasi Kamii berbicara kepada kepala-kepala dan tangan-tangan. Terlebih kepada hati-hati. Kalaupun kami tidak dapat berteriak dan bernarasi semesta ini akan berteriak bersama kami. Dan siapa saja yang mendengar “deheman” lewat kata-kata ini dan merasa tersinggung, dia sedang digerogoti oleh syndrom ulat penjilat. Siapakah manusia di planet ini yang bisa mengadili semesta?
(empat orang berpakaian awak tetater berjalan menuju panggung, diiringi lagu-lagu perjuangan atau lagu-lagu dari Iwan Fals)……………
Orang 1: Hidup batu
Orang 2: Hidup tanah
Orang 3: Hidup air
Orang 4: Hidup matahari
Orang 1: Hidup bulan
Orang 2:Hidup bumi
Orang 3: Hidup api
Orang 1,2,3,4: Hidup semesta!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Orang 4: Mari kita menundukan kepala dan hati, kita minta restu semesta, kita mohon kehadiran para leluhur pejuang keadilan yang telah berpulang, kita memohon bintang gemintang dan galaksi-galaksi untuk bersama kita, berteriak.
Orang 2: untuk siapa teriakan kita ini?
Orang 3: siapa saja…iya, siapa saja! untuk siapa saja yang punya telinga, budi dan hati yang belum tersumbat!
Orang 4: berarti ada yang pernah tersumbat ya?
Oraang 3: iya..pernah ada. Atau bisa jadi akan ada.
Orang 1: Siapa yang disumbat dan menyumbat?
Orang 2: yang disumbat bisa jadi penyumbat dan yang penyumbat bisa jadi disumbat!. Ada hubungan kesalingan di sana. Iya, mereka ada hubungan. Semacam lingkaran.
Orang 4: kapan mereka bisa keluar dari lingkaran kesalingan itu dan bagaimana caranya untuk mengeluarkan mereka?
Orang 2: kapan saja mereka mereka bisa dikeluarkan dari sangkar emas lingkaran itu. Dan kita yang mengeluarkan mereka.
Orang 1: di dalam lingkaran itu, mereka menulis kertas kerja siluman walau sering lupa membawa kaca mata. Mereka menari di panggung kaca.
Orang 2: Bukan hanya itu. Mereka duduk dan tidur di lantai enam- sembilan.
Orang 1: Mereka sering duduk di kursi mahal, tidur di vila-vila mewah, minum dari cangkir emas dan berdiri di di podium keramik..
Orang 2 : Mereka yang mengenakan jas-jas yang mahal, sepatu yang licin, dasi yang panjang, saku yang tebal dan duduk di sofa yang empuk.
Orang 3: mereka membeli kapal rongsokan yang menurut mereka kapal mewah, yang menjadi penghias dermaga tua dan menjadi bahan lelucon untuk anak taman kanak-kanak di sekolah!
Orang 4: mereka yang menggambar peta dengan pensil profit untuk kekayaan alam yang akan dikupas tanpa orientasi yang jelas.
Orang 1: mungkinkah disapa yang terhormat, pahlawan, dengan peringai perompak? satire semesta mencibir dan meludahi jejalan hasrat tamak tanpa moralitas, manusia jalang yang selalu tidak puas,.
Puisi
Kami pasang kata-kata kami pada telingamu, tetapi memang semua bilang: masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri
Kalau kami pakai surat, kamu bilang kami tidak membawa kaca mata
Kalau kami datang sendiri kamu bilang kami sibuk
Tetapi masih banyak ruang dan waktu untuk kita bertemu
Jangan berkelit dengan postulat murahan
Jangan bersembunyi dibalik garis konsultasi
Maka kami berteriak di hadapan puluhan juta tangan yang berkayuh, di pusaran arus hidup yang ganas, yang minum dari keringat, berkejaran bersama roda gerobak, memelas menadahkan tangan,
Mereka jutaan pasang mata yang dilupakan dalam cacah jiwa, hanya angka-angka pada dinding, yang besok dihapus, tetapi disebut pemilih tetap yang dicari dan disanjung pada sayembara dan kontes di negeri ini.
(Bagian ini bisa diselingi dengan puisi-puisi perjuangan atau lagu-lagu perjuangan yang sesuai )
( Dari arah depan panggung, muncul dua orang yang membawa sebuh nisan yang bertulis:
Awak tetaer menyanyikan lagu kematian: Bahagia abadi. Nisa dipancangkan di samping bendera merah putih, semua maju dan berteriak dengan lantang)
Orang 1: Kepicikan dan nafsu menguasai telah dikuburkan di atas podium yang dibagun dengan tangan hampa
Orang 2: teling dan mata yang tuli sudah dikebumikan di dalam roda-roda gerobak
Orang 3: hati dan budi yang membatu telah disemayamkan di dalam kaleng pengemis jalan
Orang 4: pendewaan teknologi dalam ruang hasrat loba dan pongah dengan mengeruk dan menikmati, telah dimakamkan di dalam saku-saku karung pemungut sampa. Dosa-dosa lama telah dihancurkan.
Orang 2: supaya kamu juga tahu, di atas tangan hampa, di dalam roda gerobak, kami mencari dan mati bersamanya.
Orang 1: Kami anak-anak republik semesta yang berbicara demi generasi semesta mendatang. Demi jutaan tangan yang mengais dari lumpur dan makan dengan tangan kosong. Kami berani dinisankan demi mereka-mereka yang tidur beratapkan langit-langit semesta.
Orang 1& 2: mungkin benar……tragedi bangsaku adalah kesunyian yang tersimpan dalam kepala-kepala ulat penjilat. Tragedi negeriku diiringi musik dan parade. Jika bangsaku mati melawan tirani, kukatakan bahwa kematian demi kebenaran lebih terhormat dari pada hidup dalam perbudakan (Gibran).
Orang 1,2,3,4: HIDUP SEMESTA, HIDUP SEMESTA, HIDUP SEMESTA, HIDUP SEMESTA……………………………………………………………………………………
Seribu bedil menusuk bola mata yang latah
selaksa lengan kokoh tegak menantang yang akan mencabik
seribu cakar yang siap menyayat dan menguliti
seratus boat menginjak dada pada tanah,
seratus jeruji memasung pada dinding
hingga tulang terpisah dari kulit, daging dari darah
kami katakan, jiwa kami berteriak lebih keras karena semakin dipisahkan semakin banyak,
suara kami ada dalam darah, ada pada kulit dan ada pada tulang
pikiran kami bangkit,
atas nama semesta, leluhur para pejuang
sebab bagiku, siapakah di bumi ini yang dapat mengadili semesta???????????????????????