Kalau capek istirahat sebentar, jangan berhenti sebab dimana-mana tajam pisau karena diasah . Kira-kira itulah yang dialami SANPUKAT pada 24 April 2024 di Aula Famous Hotel-Kute Bali. Berselimutkan dinginnya udara dalam ruangan yang tertutup, para mitra kembali berkumpul di ruang pertemuan sekitar pukul 09.00 WITA. Saat itu, proyektor belum menyala. Tak ada yang tahu materi apa yang akan muncul di slide-slide. Sementara itu di pojok belakang ruangan, semua peserta membuat lingkaran. Di sana, salah satu fasilitator SATU NAMA Agustine Dwi Kumiawati sedang memfasilitasi peserta kegiatan untuk ice breaking. Secara bergilir, setiap orang berhitung bergantian. Setiap sampai pada hitungan ketujuh ataupun kelipatannya, orang tak boleh mengucapkan angkanya, tetapi mesti mengeluarkan suara yang sedikit unik tak tahu apa namanya. Begitulah aturan mainnya. Memang gampang, tetapi beberapa orang harus mereview materi hari kemarin karena tidak mematuhi instruksi. Sungguh ice breaking ini menyenangkan tetapi juga membantu melawan lupa.
Kemudian, dari belakang ruangan, mitra bergerak bersama ke tempat duduk masing-masing dan memusatkan pandangannya pada fasilitator SATU NAMA lainnya Asep Nanda Paramayang yang saat itu mulai memberikan pengantar tentang komunikasi yang efektif. Tak lama memberikan pengantar, peserta dipandu olehnya untuk memberikan pandangan masing-masing tentang hal utama dalam komunikasi yang efektif. Potongan-potongan kertas yang penuh warna menjadi saksi dari setiap kata yang ditulis oleh peserta kegiatan. Ada tulisan yang pendek, tetapi ada juga yang panjang-panjang.
Beruntung Asep Nanda Paramayang menjelaskan tentang komunikasi yang efektif sehingga ide-ide yang beragam itu tak jadi berbenturan. Ia mengatakan bahwa komunikasi yang efektif terkait dengan tiga hal penting yakni: informasi, terlibat, dan mendengarkan. “informasi yang diberikan kepada donor domestik, tidak sama dengan informasi yang diberikan kepada donor internasional”, ucap Asep Nanda Paramayang yang saat itu mengenakan busana batik.
Kalimat itu bukan kata-kata terakhir. Ia masih terus melanjutkan penjelasannya tentang delapan komponen dalam prospektus donasi. “Prospektus donasi meliputi kebutuhan yang dihadapi, keyakinan inti organisasi, visi organisasi untuk masa depan, siapa kita, apa yang membuat organisasi kita Istimewa dari yang lain, kepribadian kita, pekerjaan kita, dan bagaimana dukungan organisasi telah membuat perbedaan”, kata Asep Nanda Paramayang di tengah ruangan yang mulai terasa dingin
Ruangan itu memang dingin, tapi dingin tak mampu patahkan semangat peserta untuk belajar local fundraising. Berbekalkan informasi, mitra pun mengerjakan prospektus donasi. Butuh setengah jam bagi SANPUKAT dan mitra-mitra yang lain untuk menyelesaikannya sampai tak terasa jarum jam berdiri tegak di angka 13.00 WITA. Sepertinya itu angka yang tepat untuk santap siang. Kegiatan bersambung pada pukul 14,00 WITA. Itulah saat untuk mempresentasikan pekerjaan. Dan SANPUKAT bersama dua mitra lainnya diberi kesempatan untuk mempresentasikan pekerjaannya.
Usai presentasi dari peserta kegiatan, beberapa catatan kritis pun mulai membombardir tanpa menunggu undian. Beberapa catatan kritis nampak menonjolkan kurangnya keunikan dari prospektus donasi. Sedangkan yang lainnya lagi menekankan pentingnya membedakan antara prospektus local fundraising dengan prospektus proyek development. Lalu, ada suara lembut yang bertutur “para mitra memiliki potensi-potensi yang bagus, tinggal mereka perlu melihatnya supaya menemukan keistimewaan di sana”, ucap Ibu Pupu.
Dari prospektus donasi, peserta bergerak perlahan ke pembicaraan tentang brosur dan media sosial organisasi. “brosur merupakan hal yang harus dibawa oleh tim fundraising. Brosur merupakan kekuatan terakhir kita”, pungkas Asep Nanda Paramayang dengan penuh semangat. Sementara itu, di tempat duduk masing-masing, setiap orang menanggapi dengan berbagai cara. Ada yang mencatat, ada yang memperhatikan saja, dan ada yang mengambil foto. Mungkin itu yang disebut sebagai kebebasan.
Setelahnya, Ariwan Perdana mengambil alih mic. Dialeknya yang khas orang jogja mengiringi penjelasannya. Pria yang akrab dengan topi hitam itu menjelaskan tentang pentingnya data dalam prospektus donasi. “Yang kerja di NGO mesti memiliki data yang valid. Data adalah kekuatan kita”, begitu ucapnya. Ariwan perdana juga menjelaskan tentang pentingnya media sosial untuk menciptakan personal branding agar organisasi semakin terkenal dan dipercaya. Tentu saja hal tersebut menghantar peserta untuk berdiskusi tentang media sosial di organisasi dalam kaitannya dengan marketing. Namun, ada yang menarik ketika Ariwan Perdana bertutur “marketing memang ada tapi hasilnya harus sosial, bukan profit. Numpuk kapital untuk kepentingan”.
Eloknya kata-kata itu telah menghiasi sesi akhir pertemuan hari ini. Tapi jarum jam yang menunjuk pukul 17.00 bukan tanda untuk tidur, istirahat, ataupun jalan-jalan sejenak menghirup udara luar gedung sebab masih ada yang tertinggal yakni brosur local fundraising yang jadi pekerjaan rumah.