Kaya Informasi, Kaya Postingan Negatif
Kehidupan modern kaya akan informasi. Informasi dapat diakses secara luas di mana saja dan kapan saja. Tak ada ruang dan waktu yang membatasinya. Akses informasi yang luas ini didukung oleh teknologi informasi modern seperti media sosial, platform-platform online, dan mesin pencari digitar. Dukungan teknologi informasi modern membuat masyarakat mudah untuk memperloleh informasi dan mengekspresikan pandangannya. Masyarakat modern dapat menyuarakan pendapatnya lewat media-media sosial dan platform-paltform online tanpa batasan geografis dan institusional.
Beberapa informasi bisa sangat edukatif dan menghibur. Tetapi tak jarang juga informasi-informasi yang diposting di media sosial dan platform online memuat negativitas seperti hoax, ujaran kebencian, komentar-komentar yang tidak etis, dan sensasionalisme. Pada tahun 2023 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani 1.615 konten hoax. Jumlah ini lebih banyak dari yang ditangani pada tahun 2022 sebesar 1.528 isu hoax. Kalau yang ditangani Kominfo saja sebanyak itu, apalagi yang luput dari perhatiannya. Sepertinya postingan negatif yakni hoax, ujaran kebencian, komentar-komentar yang tidak etis, dan sensasionalisme bisa lebih banyak lagi karena di media sosial dan platform-platform online, berbagai informasi menyebar dengan begitu sporadisnya.
Di tangan masyarakat modern, informasi bisa diposting oleh siapa saja. beberapa postingan negatif adakalanya sangat viral secara online. Entah karena kontroversional, entah karena sensasional. Postingan-postingan tersebut disebarkan secara individual, tetapi juga terorganisir dan bersifat komersial. Barangkali Sindikat Saracen cukup untuk mewakilinya. Sindikat Saracen pernah heboh di tahun 2017. Para adminnya tak pernah menyangka aksinya untuk menyebarkan hoax dan ujaran kebencian akhirnya terbongkar. Saracen mahir mengunggah kata, narasi, dan meme yang dapat menggiring opini publik agar berpandangan negatif pada kelompok lain. Tetapi serapat-rapatnya menyimpan bangkai pasti tercium juga; walau menutup-nutupi kejahatan pasti akan ketahuan juga. Namun ada yang gawat dari Saracen, ketika orang menolak hoax dan ujaran kebencian, Saracen justru menggunakannya untuk tujuan komersial. Saracen menawarkan jasa menyebarkan hoax di media sosial. Entah Saracen telah berakhir atau tidak, tapi ada yang membekas darinya yakni postingan negatif kadangkala dijadikan barang dagangan dan menyebar secara terorganisir.
Postingan negatif di media sosial sedang menunjukkan bahwa ada yang tdak baik-baik saja dengan masyarakat modern. Masyarakat modern beruntung memiliki akses informasi yang luas, tetapi tanpa moralitas, postingan negatif merajalela. Postingan negatif menunjukkan hilangnya batasan identitas sosial dan orientasi hidup yang jelas dari individu-individu modern
Dalam After Virtue, filsuf moral dan politik Alasdair Maclintyle menegok bahwa batasan identitas sosial dan tujuan hidup yang terstrukutur merupakan kekhasan tradisi pra-modern. Masyarakat pra-modern memiliki kerangka tradisional yang jelas dalam membentuk tujuan hidup dan orientasi moral individu sehingga individu tahu identitas dan kewajibannya dalam ruang sosial. (Alasdair Maclintyle, 2007)
Kerangka tradisonal inilah yang mulai hilang pengaruhnya dari individu modern yang menyebarkan postingan-postingan negatif. Hoax, ujaran kebencian, komentar-komentar yang tidak etis, dan sensasionalisme disebarkan atas dasar tujuan yang subjektif dan individualistik. Tidak ada orientasi moral yang objektif dan impersonal di sana. Postingan negatif kehilangan tujuan (telos) karena individu yang menyebarkannya luput dari tradisi moral yang kuat.
KEMBALI PADA ARISTOTELES DAN ST. BENEDIKTUS
Sepertinya kembali kepada tradisi moral yang kokoh masih relevan di tengah akses informasi yang luas dan bebas. Dalam konteks ini, tradisi moral Aristoteles masih kita butuhkan saat ini supaya tidak ada lagi yang tertawa, menikmati postingan negatif yang dibuat .Filsuf moral dan politik Alasdair Maclintyle pernah bersabda tentang pentingnya berkaca pada Aristoteles di tengah ketidaksepakatan moral modern. (Alasdair Maclintyle, 2007). Menurutnya, tradisi moral Aristoteles memiliki struktur teleologis. Di sana, ada tujuan yang jelas.
Aristoteles melihat keutamaan sebagai kualitas untuk mencapai tujuan (telos) yakni kebahagiaan (Eudamonia). Eudamonia bukan tentang uang, bukan tentang kehormatan ataupun kesenangan, melainkan tentang keadaan baik dan berbuat baik. Eudamonia juga bukan tentang mencari kebaikan individu, tetapi kebaikan bersama. Eudamonia adalah struktur teleologis yang ditawarkan Aristoteles.(Alasdair Maclintyle, 2007).
Barangkali eudamonia diperlukan individu modern agar tercipta struktur naratif dalam mengakses media sosial dan platform-platform online. Dengan struktur naratif, individu modern dapat tahu tujuan yang mesti dicapai dalam menggunakan media sosial dan postingan mana yang mesti dihindari. Postingan yang dibuat sudah semestinya bertujuan untuk kebahagiaan bersama (eudamonia).
Menurut Aristoteles, kebahagiaan bersama dicapai dengan mewujudkan keutamaan (arete). Keutamaan moral diperoleh lewat latihan dan keutamaan intelektual diperloleh lewat pengajaran. Pengajaran moral dan latihan karakter membentuk keutamaan dalam diri individu. Keutamaan berarti individu bertindak bukan karena aturan, melainkan karena kemampuan untuk menilai dengan tepat dan bertindak dengan benar . Disana rasionalitas dan proses evaluatif lebih penting dari pada faktor emosional dan disposisi alami. (Alasdair Maclintyle, 2007)
Bagi Aristoteles, proses evaluatif memerlukan komunitas. Dalam komunitas, individu mengenali hal-hal mana yang menciptakan kebaikan bersama dan apa saja yang dapat merusak ruang sosial. Alasdair Maclintyle pun berpendapat bahwa moralitas dapat dipertahankan dalam hubungan dengan komunitas yang mempromosikan nilai-nilai. Inilah yang membuat Aladair Maclintyle lebih sepakat dengan Aristoteles dari pada Nietzsche karena Nietzsche mempromosikan ubermensch, manusia yang terlepas dari komunitas, norma, dan moralitas sosial. (Alasdair maclintyle, 2007).
Sampai di sini,ada secercah hikmah yang diperoleh bagi individu modern dalam mengakses informasi secara bertanggungjawab. Individu modern tidak hanya menjadikan kebahagiaan bersama (Eudamonia) sebagai tujuan dalam membuat postingan, tetapi juga membutuhkan kekokohan komunitas yang mengajarkan nilai-nilai moral dan melatih karakter individu. Hal ini agar individu dapat mengevaluasi dan memilih secara rasional postingan mana saja yang dapat menciptakan kebahagiaan bersama (Eudamonia) dan hal-hal apa yang perlu dihindari dalam mengakses media sosial dan platform-paltform online. Dalam konteks ini, hoax, ujaran kebencian, komentar-komentar yang tidak etis, dan sensasionalisme dapat diminimalisir apabila komunitas-komunitas membentuk individu-individu dengan keutamaan-keutamaan yang diperlukan.
Dahulu St. Benediktus memungkinkan komunitas berkembang di tengah kegelapan sosial dan budaya. (Alasdair Maclintyle, 2007). Tapi sekarang kita membutuhkan keluarga, sekolah, institusi, ataupun komunitas apa saja untuk mengajar dan melatih karakter individu modern agar dapat menilai dengan tepat dan bertindak dengan rasional dalam menggunakan media sosial dan platform-platform online. Itulah sebabnya, di tengah maraknya hoax, ujaran kebencian, komentar-komentar yang tidak etis, dan sensasionalisme, kita tak perlu menunggu Godot, tetapi kita perlu St. Benediktus yang lain. (Oleh Christian Romario)
.
Ini tulisan bagus. Tapi sayang tidak dicantumkan nama penulisnya. Nanti sebagai kutipan ini menjadi tidal lengkap juga.
Please, sertakan juga dg nama penulisnya.
Siap Bapa Romo, kami akan masukan dengan nama penulisnya