Setelah manusia diciptakan menurut gambar-Nya, Allah melihat bahwa segala yang dijadikannya sungguh amat baik. Kira-kira diktum tersebut sudah sangat familiar bagi umat Kristiani. Bahkan tak satupun orang Kristiani yang berkehendak untuk membuat posisi kontra terhadapnya. Nampaknya semua orang sudah pro dengan kenyatan bahwa manusia adalah ciptaan yang amat baik dihadapan Allah. Seandainya ada yang melawan diktum tersebut, barangkali orang tersebut akan diasingkan dari komunitas.
Sampai di situ, kita masih setengah jalan membaca kitab kejadian. Karena kita akan terkejut ketika berjumpa dengan Kej. 6:6 “maka menyesalah Tuhan, bahwa ia telah menjadikan manusia di bumi dan hal itu memilukan hatinya”. Kalau demikian, haruskah Allah diasingkan karena sabda-Nya tersebut. Mengasingkan Allah sama dengan menjadi Ateis. Ateis, dalam banyak hal, adalah orang-orang yang mengasingkan diri dari Allah.
Namun, sebaiknya orang tak perlu berburuk sangka dulu dengan sudut pandang Sang Pencipta yang nampak dramatis. Orang tak perlu berburuk sangka bahwa Allah menolak eksistensi manusia. Allah tak mungkin tergesa-gesa memberikan sebuah penilain. Pasti ada faktor dibalik perubahan sudut pandang Allah. Dan kejahatan adalah faktornya. “Ketika dilihat Tuhan bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah Tuhan.” (Kej. 6:5-6). Kejahatan manusia mengubah sudut pandang Allah tentang manusia yang sangat baik menjadi sebuah penyesalan. Penyesalan Allah muncul karena kebaikan yang seharusnya ada pada manusia justru berkurang karena adanya kejahatan. Kejahatan memang tidak meniadakan eksistensi manusia sebagai ciptaan yang paling baik, tetapi dengan berbuat jahat, eksistensi manusia sebagai ciptaan yang teramat baik mengalami keretakan. Bagi metafisika, kejahatan tidak diartikan sebagai negasi. Negasi berarti mengingkari kebaikan. Itu sama artinya dengan meniadakan kebaikan. Tetapi kejahatan mesti dilihat sebagai privasio atau kurangnya kebaikan yang seharusnya ada. Kekurangan itulah yang mengubah sudut pandanga Allah. Jadi, Allah tidak menyesali keberadaan manusia, tetapi menyesali kurangnya kebaikan yang seharusnya ada dalam diri manusia.
Sampai di sini, barangkali ada hal yang dipelajari yakni bahwa kejahatan dan kesalahan mengurangi kebaikan diri manusia. Dan kekurangan tersebut sewaktu-waktu dapat mengubah cara pandang ataupun penilaian terhadap seseorang. Karena itu, ketika orang mulai menyesali, mengeluh, dan mengkritik diri kita, maka itulah saat untuk merenungkan eksistensi diri. Jangan-jangan ada yang salah, jangan-jangan ada yang jahat dari diri kita. (Christian Romario).