Krisis Lingkungan Hidup
Alam adalah anugrah paling berharga bagi manusia. Alam menyediakan bagi manusia udara yang segar, air yang jernih, hingga makanan dan minuman. Bahkan tidak sedikit manusia menemukan kekayaan spiritual dibalik kemegahan alam. Namun ironi mulai muncul tatkala manusia modern mulai memanfaatkan sumber daya alam dengan begitu lajunya. Oasis hijau dan hutan-hutan yang lebat mulai ditebang dengan menggunakan teknologi canggih. Mesin-mesin raksasa beroperasi tanpa henti untuk mengekstraksi sumber daya alam. Mikroplastik mulai diproduksi dalam jumlah besar dan kain-kain dengan seribu warna dicelupkan pada aliran air tanpa henti. Seringkali limbahnya dibiarkan berlalu dan terbawa hingga ke lautan.
Pemanfaatan sumber daya alam memang telah mendatangkan kemajuan. Dari ekstraksi nikel, tembaga, emas, batu bara hingga minyak bumi, telah tercipta produk-produk vital. Minyak tanah untuk memasak serta bensin dan diessel untuk bahan bakar transportasi. Tak hanya itu, perjalanan panjang ekstraksi sumber daya alam hingga ke tangan manusia juga ditemukan lewat peralatan masak, pembangkit listrik, aspal, furniture, fashion, hingga otomotif.
Namun, di balik kemajuan modern, terdapat harga yang dibayar oleh alam. Pembakaran bahan bakar fosil, tambang, dan ekstraksi minyak bumi telah menyisahkan gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bahkan mobil yang melintas di jalan hingga pesawat yang mengukir angkasa turut berkontribusi pada pelepasan emisi karbon yang ujung-ujungnya mengakibatkan perubahan iklim dan pemanasan global. Lingkungan hidup kian rapuh lagi ketika mesin-mesin industri mengubah lanskap yang dahulunya hijau menjadi lahan tandus dan kering. Akibatnya berbagai jenis hayati terpaksa bermigrasi dari oasis yang satu ke oasis yang lain. Beberapa hayati lainnya barangkali telah punah tanpa jejak. Ironi ini semakin panjang tatkala sampah-sampah yang berserakan kian membuat lingkungan semakin tercemar.
Ironi lingkungan hidup bukanlah prediksi apokaliptik, melainkan kenyataan yang sedang dihadapi manusia. Perserikatan Bangsa-bangsa menegaskan bahwa perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekeragaman hayati merupakan tiga krisis planet (triple planetary crises) yang sedang dihadapi manusia di seluruh dunia. (Wikipedia, 2024). Krisis lingkungan hidup tersebut berlangsung hingga kini. Tak disangka Indonesia pun mengalaminya. Pada tahun 2023, Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) menjelaskan bahwa Indonesia mengalami kenaikan tekanan suhu tahunan antara 0,3-1,4 drajat Celsius, kehilangan keanekaragaman hayati sekitar 17% atau setara dengan 15.336 spesies. Bahkan Indonesia termasuk dalam kategori enam besar negara penyumbang polusi udara global. (Tirto, 2024).
Krisis lingkungan hidup boleh jadi merupakan tindakan bunuh diri yang dilakukan manusia seperti kata-kata Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres: “umat manusia sedang berperang melawan alam. Ini tidak masuk akal dan bunuh diri”.(UNFCCC, 2024). Tentu saja bukan ini yang diharapkan. Karena itu, manusia perlu untuk mengevaluasi tindakannya. Jangan-jangan ada yang retak di sana. Pasalnya krisis Lingkungan hidup yang disebabkan oleh tindakan manusia tidak hanya menunjukkan kegagalan dalam menangani sumber daya alam, tetapi juga kegagalan moral sebab manusia tidak mampu melihat kebaikan yang ada pada alam.
KEBAIKAN MURDOCHIAN
Rupanya realisme kebaikan Murdochian mendapat tempatnya disini. Menurut Iris murdoch, kebaikan diwujudkan lewat kesadaran untuk melihat realitas dengan benar tanpa bayang-bayang egoisme dan fantasi. Egoisme dan fantasi hanya akan memperlakukan realitas sebagai objek sehingga menghalangi persepsi atau visi realistis yang tepat tentang kebaikan objektif yang ada di luar diri. (Iris Murdoch, 2014)
Dalam konteks krisis lingkungan hidup, pengaruh egoisme, fantasi kapitalisme, dan ilusi antroposentrisme membuat manusia modern melihat alam hanya sebagai sumber daya untuk dieksploitasi. Alam bernilai karena manfaat yang dimilikinya, bukan karena dirinya sendiri. Akibatnya perhatian terhadap alam sebagai entitas yang memiliki nilai-nilai inheren kehilangan tempatnya di hati manusia
Nilai-nilai inheren berupa keindahan, keanekaragaman hayati, keberlanjutan ekologis, keseimbangan, kedamaian, dan sakralitas merupakan nilai-nilai yang nyata dan dapat dikenali dalam alam. Nilai-nilai tersebut mencerminkan kebaikan objektif tanpa perlu menunggu persetujuan pribadi atau konsensus sosial. Menurut Iris Murdoch, nilai-nilai inheren perlu ditemukan, diperhatikan, dan dipelihara manusia. Iris Murdoch berbeda pandangan dengan manusia soliter yang diperkenalkan oleh tokoh eksistensialisme Jean Paul-Saltre. Manusia soliter tidak mengakui nilai-nilai inheren dan kebaikan objektif sehingga manusia bebas menentukan nilai-nilainya sendiri. (Maria Antonaccio, 2003)
Iris Murdoch melihat bahwa kecenderungan manusia soliter untuk mengejar apa yang dianggapnya baik berpotensi terperangkap dalam egoisme sebab tidak ada kebaikan objektif yang memandunya.. Karena itu, tidak heran dalam filsafatnya, Iris Murdoch mati-matian menempatkan kebaikan sebagai sesuatu yang objektif. Dengan mengadopsi pemikiran Anselmus Canterbury tentang keberadaan Tuhan sebagai sesuatu yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan, Iris Murdoch memberikan landasan metafisik dan transenden bagi kebaikan. Kebaikan dipandang sebagai sesuatu yang darinya tidak ada yang lebih besar yang dapat dipahami. Sesuatu yang lebih besar ini tidak hanya ada dalam pikiran tetapi juga harus ada dalam kenyataan. Itulah yang membuat kebaikan dapat dikenali lewat hal-hal yang ada di dunia nyata. Kebaikan menjadi kondisi yang diperlukan untuk pengetahuan moral dan nilai-nilai. Kebaikan berdaulat di atas nilai-nilai yang lain. (Maria Anttonacio, 2003)
Kendatipun demikian, kebaikan objektif sebagai kondisi untuk penilaian manusia kadangkala diartikan secara terbatas di tengah hiruk pikuk modernitas. Kebaikan menjadi begitu subjektif bergantung pada kemauan, pemikiran, dan suasana hati manusia yang bisa berbeda-beda. Barangkali ini yang turut memicu eksploitasi terhadap terhadap alam yang berakhir dengan krisis lingkungan hidup. Dalam memanfaatkan sumber daya alam, orang melakukan apa yang dianggapnya baik tanpa membandingkannya dengan nilai-nilai inheren alam yang mencerminkan kebaikan objektif. Alhasil, kebebasan untuk memanfaatkan sumber daya alam tak sedikit yang berakhir sewenang-wenang.
Kesewenangan tersebut bukan hanya ulah para korporat, melainkan juga akumulasi dari fantasi kapitalisme, ilusi antroposentrisme, dan egoisme manusia sehari-hari dalam menggunakan sumber daya alam. Tak heran kalau upaya untuk melestarikan lingkungan hidup membutuhkan perhatian dari semua pihak. Beruntung bahwa banyak orang sudah terlibat dalam gerakan-gerakan peduli lingkungan yang diprogramkan oleh pemerintah, Gereja, ataupun organisasi kemasyarakatan.
Keterlibatan dalam gerakan peduli lingkungan hidup menunjukkan perhatian terhadap kelestarian lingkungan. Gerakan peduli lingkungan membuat usaha memperhatikan kelestarian lingkungan hidup menjadi lebih bermakna. ini sejajar dengan pikiran Ludwig Wittgenstein yang menegaskan bahwa keputusan untuk melakukan sesuatu hanya dapat dianggap benar dan bermakna jika diwujudkan lewat tindakan yang dapat diamati.(Iris Murdoch, 2014)
Akan tetapi itu saja belum cukup untuk menunjukkan integritas dalam memperhatikan lingkungan hidup karena keterlibatan dalam gerakan peduli lingkungan berpotensi terjerumus dalam moralitas mekanis belaka. Orang peduli lingkungan karena ada aturan, program, atau karena isu lingkungan hidup lagi tren-trennya. Begitu aturan, program, dan isu lingkungan hidup hilang, Kepedulian terhadap lingkungan pun perlahan-lahan senyap.
Keterlibatan dalam gerakan peduli terhadap lingkungan hidup akan lebih berintegritas dan berkelanjutan apabila melibatkan kesadaran batin. Dalam karya besarnya The Soveregenty of Good, Iris Murdoch menilai kedalaman batin sebagai bagian dari proses moral yang dapat menghantar manusia pada pemahaman yang dalam akan nilai-nilai moral, keadilan, dan pribadi yang autentik. Dalam refleksi batin, terjadi transformasi diri melalui pemurnian kesadaran. (Iris Murdoch, 2014).
Rupa-rupanya krisis lingkungan hidup pun membutuhkan kesadaran batin manusia untuk memperhatikan alam sebagaimana adanya. Perhatian ini tidak sekedar melihat alam dengan mata, tetapi juga melihat alam dengan hati. Kesadaran batin yang dibangun dengan perhatian yang penuh cinta terhadap kebaikan dapat mengubah persepsi tentang tentang alam sebagai sumber daya untuk mengurus kepentingan diri dan rumah tangga (ekonomi) menjadi alam sebagai rumah bersama (ekologi) yang mesti dijaga dan dilestatikan. Ibarat metafora Plato tentang gua yang disukai Iris Murdoch, kesadaran batin akan kebaikan alam dapat mempengaruhi orang untuk keluar dari gua egoisme, fantasi kapitalisme, dan ilusi antroposentrisme menuju dunia nyata. Hal itu berarti melihat alam sebagaimana adanya yang kaya akan nilai-nilai inheren. Namun ini tidak terjadi hanya dalam satu malam. Transformasi diri membutuhkan refleksi batin terus menerus dan kemauan untuk melihat keindahan alam. Barangkali integrasi antara tindakan publik yang dapat dilihat dan kedalaman batin dapat menghasilkan ketulusan dan keberlanjutan dalam gerakan peduli lingkungan hidup ataupun kebijakan pemerintah untuk melestarikan lingkungan hidup. (Christian Romario).
PUSTAKA
Murdoch, Iris. 2014. The Soveregenty of Good.New York: Routledge Great Minds
Antonaccio, Maria. 2003. Picturing The Human. The Moral Thought of Iris Murdoch: New York: Oxford University Press.
Triple planetary crisis – Wikipedia .https://en.wikipedia.org/wiki/Triple_planetary_crisis. Diakses pada 24 Juni 2024.
RI Hadapi Triple Planetary Crisis, Dampak dan Pencegahannya? Berikut Penjelasan Dirjen Planologi – TribunNews.com. https://tirto.id/krisis-global-upaya-indonesia-di-tengah-tragedi-kerusakan-bumi-gX8d. Diakses pada 24 Juni 2024
What is the Triple Planetary Crisis? | UNFCCC. https://unfccc.int/news/what-is-the-triple-planetary-crisis. Diakses pada 24 juni 2024.