Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kira-kira itulah yang diharapkan SANPUKAT di Wisma Nazareth Nelle. Sejak didirikan pada tahun 1982, Wisma Nazareth Nelle berdiri kokoh hingga sekarang. Wisma yang diberkati oleh Mgr. Donatus Djagom ini menyimpan beribu-ribu riwayat kegiatan dan pertemuan pastoral. Secara khusus, pada Sabtu, 2 Maret 2024, Wisma Nazareth Nelle kembali merekam riwayat pertemuan sejumlah kongregasi dalam menapaki karya pastoral di Keuskupan Maumere.
Tim SANPUKAT turut hadir dalam pertemuan di Wisma Nazaret Nelle yang dihadiri oleh 76 undangan. Butuh waktu 18 menit berkendaraan bagi TIM SANPUKAT untuk sampai di wisma Nazareth Nelle yang berjarak 8,7 km dari pusat kota. Di sana, ternyata sudah ada sejumlah wanita berkerudung. Rupanya mereka adalah para suster yang mewakili kongregasi-kongregasinya. Selain itu, ada juga sejumlah biarawan laki-laki, imam, serta sebagian kecil awam yang hadir dalam pertemuan. Mereka sudah ada sejak pukul 08.00 WITA.
Para peserta memasuki ruang pertemuan sekitar pukul 09.00 WITA. RD. Doni Migo, yang saat itu mengenakan baju bercollar dan bernuansa hitam, menyatakan bahwa pertemuan terdiri dari 7 bagian yakni pendahuluan dari Bapa Uskup, pemaparan rencana strategis pastoral, pemaparan tentang perkembangan SANPUKAT, pemaparan dari Badan Solidaritas Keuskupan Maumere, sepatah kata dua dari ekonom Keuskupan Maumere, dan diskusi.
Pertemuan yang bertemakan “Bertumbuh dalam Kasih Kristus” memasuki sesi awal ketika Mgr. Ewaldus Sedu berbicara tentang dasar keterlibatan kongregasi. Sambil berdiri, Mgr. Ewaldus Sedu berkata “selain imam, para biarawan-biarawati juga merupakan titik api dalam karya pastoral di Keuskupan Maumere”. Beliau melihat bahwa Imam, Biarawan, dan Biarawati telah dikuduskan sebagai mempelai Kristus sehingga Imam, Biarawan, dan Biarawati mesti menyatu dengan realitas hidup dan membaharui dunia. “ kita memiliki 37 kongregasi perempuan dan 17 kongregasi laki-laki. Ini merupakan kekayaan bagi Keuskupan Maumere. Kalau kita tidak memberikan apa-apa maka kita berdosa kepada Tuhan”, ujar Mgr. Ewaldus Sedu yang terpilih sebagai uskup Maumere sejak 14 Juli 2018.
Usai penyampaian dari Mgr. Ewaldus Sedu, 60 tahun. RD. Doni Migo memfasilitasi pertemuan memasuki sesi dua yakni pembicaraan tentang Rencana Strategis Pastoral. Setelah itu break pagi. Baru pada pukul 10.30 WITA, SANPUKAT mendapat kesempatan untuk berbicara. Ketua SANPUKAT RD. Gabriel Mane menyambut kesempatan itu dengan suara lantang. Alunan kipas angin di dalam ruangan yang didominasi warna putih dengan selingan warna hitam turut mengiringi kata-kata RD. Gabriel Mane. Beliau mengutip Nelson Mandela “senjata paling kuat adalah pendidikan”. Sosok berpostur tinggi dengan kacamata ini punya perhatian besar terhadap perkembangan yayasan dengan segala jatuh bangunnya. Ia menjelaskan sejarah SANPUKAT, data sekolah, dan titik-titik suram yang wewarnai perjalanan SANPUKAT mulai dari rendahnya gaji guru, fasilitas sekolah yang kurang memadai, hingga isu penegerian sekolah yang lagi marak saat ini. “Kalau Nelson Mandela bilang pendidikan adalah senjata, maka rapuhnya SANPUKAT berarti peluru-peluru SANPUKAT mulai habis”, tuturnya. Ia juga menjelaskan tentang peran misionaris yang dahulu kala semangat membangun pendidikan dan mendirikan sekolah di wilayah Keuskupan Maumere. Karena itu, RD. Gabriel Mane berkata: “bagaimana peran kongregasi, biarawan, dan biarawati saat ini?. Keterlibatan kongregasi adalah salah satu jawaban dalam mengatasi rapuhnya eksistensi yayasan”. Lalu beliau menutup penyampaiannya dengan senyum kecil.
Setelah pemaparan dari SANPUKAT, RD. Doni Migo mengarahkan para peserta untuk menyimak penyampaian dari Badan Solidaritas Keuskupan Maumere, Ekonom Keuskupan, dan diskusi bersama. Memasuki sesi diskusi, rupa-rupanya penyampaian dari RD. Gabriel Mane mendapat sorotan dari peserta pertemuan. Tidak tanggung-tanggung, usai doa Angelus, pukul 12.00 WITA, seorang suster langsung menganjurkan untuk pastoral khusus sebagai upaya mengatasi kerapuhan sekolah Katolik milik Keuskupan. RD. Gabriel Mane menyambut usulan tersebut dengan berkata: “pastoral kita bisa berarti terlibat langsung di sekolah-sekolah”. Bapa Grave pun menambahkan bahwa “ keterlibatan biarawan-biarawati di sekolah bisa lewat dua cara yakni sebagai pengelola sekolah atau sebagai pemilik sekolah”. Bapak Grave adalah dosen di Universitas Nusa Nipa Maumere tapi punya perhatian juga terhadap perkembangan sekolah-sekolah Katolik di SANPUKAT.
Akhirnya, di tengah tanggapan terhadap rapuhnya eksistensi SANPUKAT dan sepoi-sepoi angin siang itu terbersit sinyal kepada para peserta agar menunda untuk berpikir tentang ‘kita dapat apa, tapi mulai berpikir, kita bisa buat apa’. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. (Cr).