Di sebuah masa ketika kata “kebenaran” terdengar seperti lelucon yang telah basi, dan Tuhan diusir dari panggung metafisika, kita pun tersesat dalam labirin postmodern yakni dunia yang menolak pusat, menolak keseluruhan, dan menolak makna yang utuh. Tapi dari reruntuhan itu, seorang iman teolog Katolik bernama Hans Urs von Balthasar mengangkat suara. Pelan, tapi dalam. Ia berbicara tentang keindahan. Ia menyebut nama Kristus bukan sebagai doktrin, tapi sebagai bentuk (gestalt) yang menyatukan cinta dan cahaya.
Dan di sinilah kita mulai. Barangkali dengan dengan sambutan awal nihilisme.
Jurang yang Menganga
Nihilisme. Kata itu berasal dari bahasa Latin, nihil—”tidak ada.” Sebuah kata yang terdengar seperti bisikan lembut kuburan, tapi menghantam keras kepercayaan pada Tuhan yang dulu dianggap suci. Filsuf yang hidup di era akhir modern Friedrich Nietzsche, barangkali yang paling lantang dalam hantaman. Ia menyatakan “Tuhan telah mati” Yang memekikkan ateisme bahwa Tuhan tidak ada. Namun, pekikan itu tidak membuka jalan ke Tuhan yang lain, Ia hanya membakar jembatan dari iman yang lama. Dan dari reruntuhan iman lama, ia berharap akan lahir Übermensch yakni manusia unggul yang tak membutuhkan perintah dari Tuhan untuk bertindak benar.
Pekikan Nietzche sampai ke telingan pemikir postmodern. Namun alih-alih berusaha mengatasinya secara definitif, jutru postmodernisme menerimanya sebagai fakta kehidupan. Postmodern berpendapat bahwa penolakan mereka bukan terhadap Tuhan dalam teks-teks Alkitab, melainkan terhadap “tuhan” metafisik. Karena itu, postmodernisme mencari cara baru untuk hidup di dalamnya. Cara baru ini sering berfokus pada sensitivitas terhadap “yang lain” atau —l’autrui, kata Emmanuel Levinas. Di situ, potmodernisme menyiapkan ruang bagi yang tak dikenal, tak terjangkau, dan tak terdefinisi.
Iman Postmodern
Penolakan terhadap Tuhan metafisik menggaungkan kembali keheningan filsafat Martin Heidegger, yang membisikkan bahwa iman sejati tidak berakar pada “ada”-nya Tuhan, tetapi pada pengalaman akan yang kudus. Ia menyebutnya Ereignis yakni kejadian yang suci, yang datang, dan berlalu tanpa bisa dimiliki. Kekudusan, bagi Heidegger, bukan milik gereja atau teks. Ia ada di tanah, di udara, dan di dalam napas. Bahkan kekudusan itu lebih tua dari waktu, lebih sunyi dari bahasa.
Dalam lanskap ini, Iman bukan lagi afirmasi akan suatu proposisi: “Aku percaya Tuhan ada”, melainkan pada pengakuan akan keterbukaan terhadap sesuatu yang tak bisa kita pastikan. Bagi Heidegger, iman tidak membutuhkan pemikiran tentang wujud sebab iman sejati bukan berasal dari keyakinan teoritis tentang keberadaan Tuhan, melainkan dari pengalaman primordial wahyu. Dengan demikian, iman menjadi sebuah kesetiaan pada sesuatu yang memberi diri, tapi tak memberi bukti.
Tak heran Francis Lyotard, dengan meminjam istilah Kant tentang sublime, mengajukan pertanyaan lain: bagaimana kita berbicara tentang sesuatu yang tidak bisa dipresentasikan?. Sesuatu yang melampaui representasi itu seperti: misteri, iman, dan Yang Ilahi. Ia pun mencurigai narasi besar, termasuk narasi Kristen. Barangkali kecurigaan itu dikarenakan pengalaman akan Yang Ilahi bukanlah sesuatu yang bisa dikunci dalam sistem agama atau doktrin. Kita bisa percaya di hadapan Tuhan, tapi tak bisa mengklaimnya. Bagi Lyotard, iman postmodern dicirikan oleh keterbukaannya terhadap Yang Lain dan kemampuan untuk bersaksi tentang realitas yang lain yang tidak dapat dipahami atau dikuasai.
Jean-Luc Marion menyempurnakan gambaran ini dengan menolak Tuhan sebagai “objek.” Ia menolak pembicaraan tentang Tuhan dalam istilah ontologi. Sebaliknya, ia menawarkan sesuatu yang lebih radikal yakni Tuhan sebagai fenomena pemberian diri (donate). Dalam konteks ini, Tuhan hadir bukan karena kita mencarinya, tetapi karena Ia memberi diri. Tanpa syarat. Tanpa bisa kita kembalikan.
Marion membedakan ikon dari idola. Idola adalah cermin keinginan manusia yang mana Tuhan diciptakan oleh kita agar sesuai harapan kita. Sebaliknya, ikon, adalah jendela ke Yang Tak Terlihat. Ikon tidak menunjukkan Tuhan, tetapi ia mengundang kita untuk diam dan percaya di hadapan Tuhan. Dan di titik ini, pujian menjadi bentuk tertinggi teologi. Hymne bukan diskursus. Lagu bukan logika. Bagi Marion, iman bukan argumen, tetapi kesetiaan pada pemberian atau kesetiaan pada sesuatu yang kita terima, meski tak pernah bisa kita mengerti.

Mengisi Jurang dan Ketidakpastian Diri Postmodernisme
Sampai di sini, iman postmodern, dalam semua kelirunya, tidak menghapus Tuhan. Iman postmodern hanya tidak mau Tuhan dijadikan objek. Kendati demikian, Postmodernisme tidak menawarkan jawaban yang rapi tetapi menyisahkan jurang. Jurang postmodernisme nampak dalam ketidakpastian dan kekosongan karena iman lama dihancurkan, tetapi iman baru belum terbentuk. Tapi dari iman postmodern ini, kita diajak menemukan keberanian untuk menegaskan diri yang terbatas dan menerima landasan yang tanpa dasar (groundless ground) sebagai sumber eksistensinya. Itulah ikhtiar dari iman eksistensial yang terdengar dari suara Paul Tillich. Bagi Tillich, “kematian Tuhan” bukanlah akhir spiritualitas, tapi kehilangan Tuhan yang terlalu mirip manusia. Karena itu, Tillich mengajak kita kembali kepada Tuhan yang lebih dalam dan tak bisa dikategorikan yakni Tuhan di atas Tuhan. Begitulah Tillich memaknai iman dalam dunia yang tak lagi menjanjikan kepastian. Bahkan ketika Tuhan yang dulu dikenalnya telah mati. Ia menolak untuk menjadi puing, tetapi ditantang untuk tetap berani “menjadi”, walau tidak ada landasan yang jelas.
Para teolog kontemporer pun sepertinya melanjutkan nada-ada Tillich, tetapi dengan metafora yang lebih lembut, lebih feminim. Misalnya Meister Eckhart menyebut jurang atau ketidakpastian ini sebagai tempat penyatuan ekstasi antara Tuhan dan jiwa manusia melalui ketidakmelekatan (detachment) atau Gelassenheit (releasement). Jurang dan ketidakpastian iman menjadi ruang kosong yang darinya Tuhan dilahirkan. Bahkan Grace Jantzen dan Catherine Keller menulis tentang jurang dan ketidakpastian tentang Tuhan bukan sebagai absen Tuhan, tapi sebagai hadirnya ketakterbatasan yang mamacu natalitas atau kemampuan untuk lahir kembali secara spiritual.
Kenosis Postmodern
Tapi dunia postmodern juga tahu bahwa diri yang ingin lahir harus lebih dulu dikosongkan. Namun, kenosis, /pengosongan diri dari pemikir postmodern bukan lagi teologi tentang salib, melainkan kenosis diartikulasikan sebagai à-dieu yakni gerakan mengosongkan “tuhan” metafisik dan bergerak menuju yang lain melalui tanggung jawab etis menjadi sikap etis. Atau Gianni Vattimo yang menyebutnya sebagai prinsip sekularisasi di mana inkarnasi bukanlah Allah menjadi manusia untuk memulihkan dosa, melainkan Tuhan yang melemahkan diri agar nampak kasih yang terlibat. Karena itu, kenosis atau pengosongan diri adalah kasih yang menarik kita pada keterlibatan etis dengan kekhususan historis. Sementara itu, Emmanuel Levinas melangkah lebih jauh. Ia menyebut kenosis sebagai Tuhan yang merendahkan diri-Nya. Tuhan yang membiarkan diri-Nya tergantung pada etika manusia. Ia hadir bukan sebagai penguasa, tapi sebagai wajah orang lain yang menatap dan menuntut kita bertanggung jawab. Tuhan tidak muncul dalam langit yang membelah, tapi dalam permohonan diam dari mereka yang tertindas dan menderita.
Dan bagaimana dengan Derrida? Jacques Derrida mengaitkan kenosis dengan keramahan (hospitality) yang berakar pada harapan akan masa depan mesianis yakni kedatangan yang lain yang radikal dan tidak terduga yang menuntut keramahan tanpa syarat. Ia menyebutnya mesianis tanpa mesias. Ia menulis kenosis sebagai gerak à-dieu (perpisahan dari Tuhan yang lama, Tuhan yang terlalu dogmatis) menuju tout autre (yang sepenuhnya lain). Derrida mengubah makna religius kenosis menjadi makna etis individu dengan konsekuensi bahwa Yesus yang disalibkan digantikan oleh “yang lain”, yang mengejar kenosis mereka dalam bentuk etika. Dalam narasi seperti ini, Yesus bukan lagi pusat. Ia bukan tokoh utama. Yesus hanya salah satu contoh. Dan Salib bukan peristiwa sejarah, melainkan simbol etis. Sebab yang disalibkan bisa siapa saja yakni orang asing, korban kolonialisme, dan wajah yang terlupakan. Dengan demikian, setiap “yang lain” menjadi Mesias anonim.
Tapi ada sesuatu yang hilang di sini.

Salib Tanpa Yesus
Yesus yang historis, Yesus yang disalibkan hampir lenyap dalam postmodernisme. Yesus tak lagi pusat. Ia sekedar menjadi simbol dan contoh. Sebab postmodernisme mengubah kenosis sebagai wahyu menjadi sekedar etika. Jika kenosis adalah pengosongan, maka dalam dunia postmodern, pengosongan itu nyaris sempurna. Sebab Tuhan yang lama telah ditinggalkan, kendati Tuhan yang baru belum muncul.
Apakah ini bentuk iman baru? Atau hanya pengganti yang samar?
Barangkali ini keberhasilan sekaligus tragedi pemikiran postmodern. ia berhasil membebaskan Tuhan dari metafisika lama dan membebaskan Tuhan dalam cengkaraman dogma serta ayat-ayat Kitab Suci , tapi postmodernisme juga membuat Tuhan terlalu jauh untuk dicintai. Terlalu kabur untuk diikuti. Terlalu asing untuk kita kenali di jalan-jalan dunia.
Karena salib masih berdiri, tapi siapa yang tergantung di atasnya tak lagi jelas.
Iman Barthassar
Namun, di tengah semua ini, Imam dan Teolog Katolik Hans Urs von Balthasar berdiri seperti seseorang yang menolak mengucap selamat tinggal. Dalam tragedi postmodern, Balthasar menawarkan keindahan, bukan sebagai estetika kosong, tapi sebagai cahaya yang mengungkap kebenaran. Bagi Balthasar, keindahan bukan sekadar perhiasan dari kebenaran. Ia adalah jendela ke yang ilahi. Keindahan adalah cara Tuhan berbicara kepada dunia tanpa kata.
Di dunia postmodern, diri terpecah, cair, tak punya pusat. Diri ditafsirkan sebagai jurang, sebagai ruang kosong untuk dilahirkan kembali. Begitu halnya dengan kenosis (pengosongan diri Tuhan) menjadi metafora indah untuk etika. Bagi Derrida, kenosis adalah keramahan radikal. Bagi Vattimo, itu adalah sekularisasi di mana Tuhan melemahkan diri agar manusia bisa bebas. Tapi Balthasar tak melihat kekosongan itu sebagai tempat lahirnya manusia baru, melainkan tempat Kristus hadir. Baginya, kenosis (pengosongan diri) bukanlah pelemahan. Ia adalah kekuatan. Salib bukan tanda Tuhan menyerah, melainkan saat ketika kemuliaan meledak dari luka. Sebab ketika Kristus menggantung di kayu salib, dunia melihat wajah kasih yang tak berdaya tapi tak tergoyahkan. Di sanalah, kata Balthasar, Tuhan memanggil kita dengan kasih yang lebih tua dari bahasa: “Engkau” yang pertama kita kenal sebelum kita tahu kata.
Ini bukan ironi. Tapi Ini misteri. Dan misteri itu terus hadir dalam liturgi, dalam Ekaristi, dalam roti dan anggur yang bukan metafor tapi tubuh nyata dari cinta yang tak habis-habisnya mengosongkan diri. Karena itu, bagi Balthassar, Iman bukan ketidakpastian dan respons terhadap Yang Lain sebagaimana iman postmodernisme, melainkan penyerahan total diri kepada kehadiran yang mengasihi. Dan Kristus adalah “Manusia yang hadir bagi manusia lain.” Di tubuh-Nya, bentuk manusia dipulihkan. Melalui tubuh Kristus (gestalt), kita tidak hanya memahami siapa Tuhan, tapi siapa kita. Tubuh Kristus (gestalt) bukan hanya gambaran ideal. Ia adalah bentuk hidup yang harus diteladani. Dengan demikian, Kristus, dalam kenosis-Nya, adalah jawaban atas pertanyaan yang Derrida ajukan: “Apa yang saya cintai ketika saya mencintai Tuhan saya?”
Jawabannya bukan konsep. Ia adalah Pribadi. (Christian Romario)