Indonesia adalah nusantara yang kaya dengan sastrawan. Kalau di dunia, ada sastrawan-satrawan hebat seperti Sir Walter Scott, Emile Zola, Victor Hugo, Alexander Dumas, Leo Tolstoy, dan Paulo Coelho, maka di Indonesia pun telah hidup sastrawan-satrawan unggul seperti Pramoedya Ananta Toer yang terkenal dengan karyanya Tetralogi Pulau Buruh, Sapardi Djoko Damono yang terkenal dengan tulisan legendaris bertajuk trilogi hujan bulan juni, Andrea Hirata yang menjadi masyur lewat novelnya laskar pelangi, hingga sastrawan kontemporer, Seno Gumira Ajidarma yang tenar dengan serial novel silat berjudul naga bumi.
Tentang novel naga bumi, pada serial pertamanya yang berstatus ‘jurus tanpa bentuk’, pernah muncul kata-kata inspiratif dari Seno Gumira Ajidarma sebagai berikut: “ orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan karena keseragaman pemikiran memang sungguh-sungguh akan memiskinkan kemanusiaan” (Seno Gumira Ajidarma,2009). Demikianlah kata-kata tersebut memperlihatkan keberpihakkannya pada perbedaan. Perbedaan sama pentingnya dengan keseragaman. Ketika keseragaman terlalu totalistik dan terlalu dipaksakan hingga mematikan adanya perbedaan, maka akan lahir oknum-oknum diskriminatif yang memiskinkan kemanusiaan.
Hal ini bukan omong kosong. Pada tahun 2021, Indonesia pernah dihebohkan dengan praktek intoleransi yang terjadi di salah satu sekolah negeri yang mana pelajar beragama Kristen dipaksa untuk memakai Jilbab. Kisah itu bermula ketika Jeni Cahyani Hia dipanggil berkali-kali oleh guru karena tak memakai jilbab sebagaimana dituturkan oleh Elianu Hia kepada wartawan Agus Embun yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. Kisah Jeni sedikit banyak mengungkapkan bahwa di tengah nusantara yang terkenal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yakni ‘berbeda-beda tapi tetap satu’ masih tetap ada praktek-praktek penyeragaman yang dipaksakan.
Praktek penyeragaman sebagaimana kasus Jeni Cahyani Hia kiranya setara dengan bentuk penguasaan terhadap yang lain. Penguasaan itu bertujuan agar orang yang berbeda itu menjadi identik atau sama dengan diri kita. Dengan begitu, kita akan merasa aman, nyaman, dan tenteram karena tidak ada lagi orang yang berbeda, yang berada di luar kontrol kita.
Atas dasar itu, maka sudah semestinya orang melakukan arus balik. Dari pada memaksakan keseragaman, lebih baik orang mencintai perbedaan. Dalam karya besarnya Totality and Infinity, Fisuf abad 20 Emmanuel Levinas menegaskan bahwa akses terhadap yang lain, entah melalui pengalaman visual ataupun sentuhan dapat mempengaruhi cara kita memahami dan berinteraksi dengan yang lain. Namun, melalui penampakan wajah, orang diajak untuk menolak penguasaan atas yang lain. Wajah menolak untuk untuk disatukan dalam suatu totalitas yang mengaburkan perbedaan. Dalam konteks ini, wajah tidak sekedar pengelihatan visual, tetapi melibatkan pengakuan etis terhadap yang lain. Kehadiran wajah bersifat tak terbatas sehingga melampaui kemampuan manusia untuk memahaminya ataupun mereduksinya. Bagi Emmanuel Levinas, Ketidakterbatasan wajah merupakan pengalaman konkret. Tidak sama dengan keterbatasan sebagai proyeksi sebagaimana dipikirkan oleh Imanuel Kant. Ketidakterbatasan wajah membuatnya tidak dapat direduksi ke dalam pemahaman. (Emmanuel Levinas, 2007)
Seringkali terjadi bahwa orang berusaha untuk menyesuaikan objek yang dilihat ke dalam kerangka kita sendiri. Orang berusaha menciptakan keseragaman agar yang lain dapat bertindak sesuai dengan kerangka atau kemauan kita. Namun dengan menekankan ketidakterbatasan wajah, Emmanuel Levinas menegaskan kehadiran yang lain tetap mutlak dan berbeda. (Emmanuel Levinas, 2007). Dalam bahasa Pandji Pragiwaksono, hal itu diungkapkan dengan sangat menarik lewat kata-kata berikut: “ bukan urusan kita membuat seisi bumi seragam. Tugas kita hidup nyaman, damai, bahagia dengan perbedaan yang ada”. Karena itu, bagi setiap orang, satu pesan yang dapat dipetik yakni “ jangan terlalu mencari yang perfect, tetapi carilah orang yang bisa respect dengan perbedaanmu”. (oleh Christian Romario).
Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. (2009). Naga Bumi I: Jurus Tanpa Bentuk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Levinas, Emanuel. (2007). Totality and Infinity. An Essay on Exteriority. Penerj. Alphonso Lingis. Pennsylvania: Duquesne University Press.