Siapa tak ingin tinggal di Eden? Semua orang pasti menginginkannya. Hanya sampai saat ini, tak satupun orang yang tahu dimana lokasinya. Mungkin karena tidak ada jalan pulang ke Eden, setelah Adam dan Hawa diusir dari sana. Atau karena Eden lebih merupakan kisah iman dari bangsa yang dibuang, Israel. Kita sudah tahu apa yang terjadi dengan bangsa itu. Sekitar 720-580 SM, kerajaan Yehuda di bawah pimpinan Raja Hizkia dan penasihatnya Nabi Yesaya berhasil melawan serangan bangsa Asyur, namun kalah perang melawan bangsa Babel. Israel pun dibuang ke Babilonia. Di pembuangan Babel, Israel bergumul dengan Allah yang disapa Yahwe. Israel mulai berkisah tentang ciptaan Allah untuk menandingi kisah para dewa dari mitos Babilonia Enuma Ellish. Karenanya Eden bukan sembarang kisah. Eden tidak sama dengan Enuma Ellish. Tidak ada banyak dewa di taman Eden. Hanya monoteisme yang nampak di sana. Allah yang esa berbicara dengan manusia pertama.
Bagi orang modern, terlalu mustahil Allah berbicara dengan manusia. Tidak ada bukti. Tidak ada verifikasi. Sia-sia membangun diskursus tentang-Nya. Namun semua kemustahilan itu justru terjadi di taman Eden. Taman Eden ditulis ketika empirisme dan positivisme belum lahir. Karenanya di taman Eden, bukan kebenaran ilmiah yang ingin ditunjukkan, melainkan kebenaran iman yang hendak diajarkan.
Layaknya kisah-kisah lain yang penuh dengan alur, kisah taman Eden pun begitu. Dimulai dengan pemberian taman kepada manusia pertama yang disapa Adam dan Hawa hingga berakhir dengan pengusiran dari taman Eden. Ada tragedi di taman Eden. Kelimpahan berubah menjadi penderitaan. Manusia pertama tidak dapat lagi memakan buah dengan bebas, tetapi harus bersusah payah mencari rezeki dari tanah seumur hidup. Taman Eden pun berakhir sebagai masa lalu bagi manusia pertama sebab tidak ada jalan untuk kembali menikmati kejayaan di taman yang diberikan Tuhan. Rupa-rupanya kelimpahan selalu bercabang dua. Kelimpahan bisa membuat orang lebih membangun relasi dengan Allah seperti Daud, tetapi kelimpahan bisa juga membuat orang menginginkan lebih dan lebih seperti Adam. Sisanya adalah kehendak bebas manusia untuk memilih.
Sebenarnya kisah taman eden tak selamanya tentang tragedi manusia pertama. Sebab taman Eden dikisahkan demi menandingi mitos Enuma Ellish Babilonia, Berbeda dengan mitos Enuma Elish yang percaya dengan realitas sosial yang stabil, taman Eden justru menghadirkan dinamisme. Itulah dinamisme manusia pertama yang tak selamanya kekal di taman Eden. Rupanya tragedi di taman eden tak sia-sia. Ada pelajaran di sana bahwa kehidupan tak selamanya stabil. Kehidupan akan selalu diwarnai dinamisme dan transformasional. Maka, orang tak perlu berlarut-larut dengan nostalgia masa lalu. Orang mesti bergerak menghadapi masa depan kini dan disni. Tapi kita tetap butuh Allah untuk sampai di Eden, untuk sampai pada kebahagiaan.